Ini penyebab tarif taksi konvensional lebih mahal dari taksi online
Penggunaan aplikasi teknologi di sektor transportasi bukanlah hal baru.
Demo besar-besaran para sopir taksi terjadi kemarin. Mereka menolak adanya angkutan umum berbasis aplikasi online. Mereka meminta pemerintah segera menutup angkutan umum seperti Grab, Uber dan GO-JEK.
Wakil Ketua Bidang Riset dan Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno menilai, penggunaan aplikasi teknologi di sektor transportasi bukanlah hal baru. Menurutnya, di sektor transportasi sudah dikenal ITS (Inteligentia transport system). Salah satunya sistem online tersebut.
"Sekarang sudah diterapkan pula di perkeretaapian dalam hal pemesanan tiket, pelacakan lokasi kereta api, dan sebagainya," kata Djoko melalui WhatsApp kepada merdeka.com, Rabu (23/3).
"Di jalan raya sudah ada ATCS yang membantu mengatur lalu lintas kendaraan di persimpangan. Juga dapat mengatur perjalanan bus umum, bus priority namanya," lanjutnya.
Lebih lanjut dia menilai, biaya tinggi angkutan umum konvensional terjadi juga akibat banyak pungutan liar perizinan di daerah.
"Tujuh tahun lalu untuk keluar izin satu unit taksi di daerah, ada oknum kepala daerah yang minta Rp 10 juta. Jika minta diizinkan 300 unit, oknum tersebut bisa raup Rp 3 miliar. Belum termasuk pungli lain untuk bawahannya, kotak surat izin akan dikeluarkan," katanya.
Tak cuma itu, kata dia, ada juga kepala daerah yang meminta satu mobil MPV kepada pengusaha taksi yang mau mengoperasikan 20 unit taksi dengan armada MPV. Dia menilai hal itu sangat keterlaluan akibat pilkada berbiaya tinggi, pungli dan korupsi menjadi hal biasa.
"Semua biaya tersebut akhirnya dibebani pada masyarakat dengan tarif (angkutan) yang dianggap tidak bisa murah," katanya.
Hal itu, menurutnya, tak terjadi pada angkutan umum beraplikasi. Karenanya dia menilai wajar jika tarifnya cenderung murah.
"Sudah tak bayar pajak, KIR kendaraan, asuransi penumpang, investasi pool kendaraan, dan sebagainya," katanya.
"Polisi juga harus bertindak, jangan diam saja atau melindungi angkutan umum pelat hitam yang beroperasi di jalan raya. Wewenang polisi untuk menindak jika ada pelanggaran di jalan sesuai UU 22/2009 tentang LLAJ, bukan Dishub atau Kemenhub," katanya.
Dia mengatakan, transportasi umum sudah termasuk kebutuhan hajat hidup orang kebanyakan. Karenanya, negara harus hadir, tak melakukan pembiaran pada pengusaha yang tidak taat aturan.
"Pungli segala perizinan di daerah harus segera dihilangkan, bukan dipelihara sebagai ajang perkaya diri. Transportasi umum didorong tidak gagap teknologi, gunakan aplikasi yang memudahkan pengguna. Tetapi harus dipahami jika negara berhak melindungi warga negaranya dalam bertransportasi dengan selamat, aman dan nyaman," katanya.