Kapolda Metro harus tindak anak buah yang salah tangkap tukang ojek
Insiden salah tangkap ini kembali mengotori citra kepolisian di mata masyarakat.
Seorang tukang ojek, Dedi (34), menjadi korban salah tangkap pihak kepolisian. Tak hanya ditangkap, atas kelalaian pihak polisi, Dedi harus kehilangan waktu bersama anak dan istrinya selama 10 bulan lantaran mendekam di lapas pemasyarakatan (LP) Cipinang.
Pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar menyayangkan peristiwa tersebut. Dia meminta institusi Polri mau berbenah diri untuk merubah sifat anggotanya yang sewenang-wenang dalam menjalankan tugas.
"Polisi harus betul-betul intropeksi atau mawas diri. Ini masih ada di dalam diri anggota atau oknum yang kasar atau sewenang-wenang artinya tidak mengikuti instruksi," kata Bambang saat berbincang dengan Merdeka.com, Sabtu (1/8).
Menurut Bambang, sebaiknya Polda Metro Jaya tidak menutupi kasus yang menimpa Dedi. Dia berharap pihak kepolisian mau menjelaskan semua ke publik terkait peristiwa tersebut.
Bambang menilai, insiden itu kembali mengotori citra kepolisian di mata masyarakat. Padahal, lanjut dia, sejauh ini publik sudah mengembalikan rasa hormat kepada institusi Polri yang berhasil mengungkap berbagai kasus di tanah air.
"Kalau satu dikotori maka kebaikan yang lain juga ikut," ungkap dia.
Bukan hanya itu, Bambang menjelaskan apa yang harus dilakukan korps bhayangkara menyangkut insiden ini. Dia mengatakan penyelidik atau penyidik yang menangani perkara Dedi harus segera diperiksa oleh pihak Propam.
Bahkan, anggota polisi itu dinilai Bambang harus menerima hukuman yang setimpal atas kesalahannya. "Karena dalam tugas ada kekeliruan maka penyidik dan penyelidik harus diperiksa oleh Propam. Kalau fair harus dihukum," tegas Bambang.
Lebih lanjut Bambang mengimbau agar Dedi melakukan gugatan perdata ke Pengadilan Jakarta Timur. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan haknya yang selama 10 bulan telah direnggut oleh pihak kepolisian.
"Maka pengadilan akan mempertimbangkan putusan dia ditahan selama 10 bulan dengan uang ganti pendapatannya per hari," pungkas Bambang.
Sebelumnya, Dedi tukang ojek di Pusat Grosir Cililitan (PGC), Jakarta Timur menjadi korban salah tangkap polisi. Dedi dituding ikut terlibat dalam kasus pengeroyokan seorang sopir mikrolet yang berujung kematian.
Setelah menjalani proses penyidikan, Dedi pun akhirnya menjalani sidang di PN Jaktim sejak Desember 2014. Hingga pada April 2015, dalam dakwaannya majelis hakim yang diketuai hakim Rukman Hadi, SH.,MSi, mendakwa Dedi dengan pasal 170 KUHP, tentang pengeroyokan yang mengakibatkan kematian.
Namun, karena merasa tak bersalah, Dedi melalui kuasa hukumnya pun mengajukan banding. Di tingkat banding, Dedi dinyatakan bebas tak bersalah oleh majelis hakim tinggi, yang tertuang dalam daftar perkara No.142/PID/2015/PT.DKI. Dalam materi pembelaan di tingkat pertama, Dedi dan kuasa hukumnya menyampaikan hal-hal berikut :
1. Proses penangkapan tidak beralasan secara hukum, karena tidak ada bukti permulaan yang cukup. Penangkapan juga tidak didahului oleh pemeriksaan alat bukti yang mengarah pada Dedi. Saksi pelapor tidak melihat Dedi dan tidak ada di TKP. Dedi juga disebut ditangkap polisi hanya berdasarkan ciri-ciri umum, seperti perkiraan rambut gondrong dan sebagainya.
2. Polisi disebut memaksa dan mengancam Dedi untuk mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya.
3. Ada saksi yang menguatkan bahwa Dedi tidak terlihat dalam pengeroyokan.
4. Ada keterangan saksi yang dihadirkan oleh Dedi menyatakan bahwa pengeroyok itu bernama Dodi.
Hingga akhirnya, Dedi pun bisa kembali menghirup udara bebas setelah sempat divonis 2 tahun penjara, oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim). Dedi yang juga seorang tukang ojek itu akhirnya dibebaskan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (PT DKI), dari tuduhan pembunuhan yang dialamatkan kepadanya.