Kasus korupsi UPS, Polda Metro periksa penyedia jasa & sekolah
Dari 73 saksi yang sudah dipanggil, polisi belum periksa anggota DPRD DKI Jakarta.
Polda Metro Jaya melakukan pemanggilan terhadap lima saksi dalam kasus korupsi pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) dalam APBD DKI Jakarta Tahun 2015. Saksi tersebut berasal dari penyedia jasa UPS dan pihak sekolah yang menerima UPS.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Martinus Sitompul menjelaskan, pemanggilan hari ini dijadwalkan pada Pukul 10.00 WIB. Dia belum dapat memastikan apakah kelima saksi yang dijadwalkan itu hadir atau tidak.
"Hari ini kita memang melakukan pemanggilan untuk hari ini, pemeriksaan ada 5 memang panggilan kita. Tapi sampai Pukul 10.00 WIB ini memang belum (datang), karena panggilan kita dari Pukul 10.00 WIB, nanti kita paling batas waktu sampai Pukul 17.00 WIB. 5 saksi itu dari penyedia jasa dan dari sekolah," kata Martinus di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (19/3).
Martinus tak setuju jika pengusutan kasus korupsi UPS ini dinilai lambat. Menurut dia, pengungkapan kasus ini sudah dikebut selama dua minggu ini.
"Kalau dibilang lamban, tidak. Kita sudah melakukan pemeriksaan dalam dua minggu. Dari mulai Senin minggu yang lalu, sampai hari ini, kami dalam 9 hari kerja kita sudah melakukan pemeriksaan terhadap 73 orang," terang dia.
"Tentu ini satu proses pemeriksaan yang cepat, termasuk untuk pengumpulan barang bukti, keterangan-keterangan lain, serta penyitaan dari beberapa dokumen yang ada. Penetapan-penetapan barang yang kita minta juga sudah kita minta ke pengadilan negeri," lanjut dia.
Dia menjelaskan, sedikitnya sudah ada 73 saksi yang diperiksa. Namun dari saksi itu, belum ada satu pun anggota DPRD DKI Jakarta yang diperiksa oleh polisi.
"Belum ada anggota DPRD. 73 itu ada dari Pejabat Pembuat Komitmen, Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan, penyedia jasa, distributor, dan dari pihak sekolah yang menerima barang UPS," pungkasnya.
Baca juga:
Ahok soal kasus UPS tak diusut KPK: Lupakanlah sudah diambil polisi
Kasus korupsi UPS, anggota DPRD DKI segera diperiksa polisi
Polisi butuh 50 saksi lagi sebelum tetapkan dalang korupsi UPS
Bareskrim diminta turun tangan usut dugaan korupsi UPS DKI
Anak buah Ahok heran maunya DPRD, evaluasi RAPBD malah bahas program
-
Apa yang membuat Ahok heran tentang para koruptor? Dia menyoroti hukum dan sanksi para koruptor. Saking lemahnya hukum, Ahok heran melihat bekas tahanan koruptor yang justru semakin kaya. Beberapa di antaranya bahkan tak segan pamer kekayaan.
-
Apa saja kasus korupsi yang berhasil diungkap Kejaksaan Agung yang mendapat apresiasi dari DPR? Kasus kakap yang telah diungkap pun nggak main-main, luar biasa, berani tangkap sana-sini. Mulai dari Asabri, Duta Palma, hingga yang baru-baru ini soal korupsi timah.
-
Siapa yang ditahan KPK terkait kasus dugaan korupsi? Dalam kesempatan yang sama, Cak Imin juga merespons penahanan politikus PKB Reyna Usman terkait kasus dugaan korupsi pengadaan software pengawas TKI di luar negeri.
-
Apa yang ditemukan KPK terkait dugaan korupsi Bantuan Presiden? Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan adanya dugaan korupsi dalam bantuan Presiden saat penanganan Pandemi Covid-19 itu. "Kerugian sementara Rp125 miliar," kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika, Rabu (26/6).
-
Mengapa kasus korupsi Bantuan Presiden diusut oleh KPK? Jadi waktu OTT Juliari itu kan banyak alat bukti yang tidak terkait dengan perkara yang sedang ditangani, diserahkanlah ke penyelidikan," ujar Tessa Mahardika Sugiarto. Dalam prosesnya, kasus itu pun bercabang hingga akhirnya terungkap ada korupsi bantuan Presiden yang kini telah proses penyidikan oleh KPK.
-
Bagaimana Karen Agustiawan melakukan korupsi? Firli menyebut, Karen kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerjasama dengan beberapa produsen dan supplier LNG yang ada di luar negeri di antaranya perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat. Selain itu, pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dalam hal ini Pemerintah tidak dilakukan sama sekali sehingga tindakan Karen tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu.