Kejagung Nilai PTUN Lalai Periksa Bukti Penting Sebelum Vonis Jaksa Agung Bersalah
Seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti, karena tidak ada alasan untuk dibentuknya pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada presiden.
Jamdatun Kejaksaan Agung (Kejagung) Ferry Wibisono menyampaikan, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta telah lalai dalam memeriksa alat bukti sebelum menjatuhkan putusan atau vonis bersalah terhadap Jaksa Agung ST Burhanuddin, yang disebut bersalah atas pernyataannya terkait tragedi Semanggi I dan II.
"PTUN Jakarta telah mengabaikan alat bukti yang sangat penting, yaitu video rekaman rapat kerja," tutur Ferry di Kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis (5/11).
-
Kapan Atang Sendjaja meninggal? Pada 29 Juli di tahun itu menjadi hari duka bagi AURI.
-
Apa yang terjadi dalam Tragedi Bintaro 1987? Tragedi Bintaro 1987 terjadi karena kecelakaan kereta api yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Kronologi kejadian dimulai saat dua kereta api bertabrakan di Stasiun Pondok Ranji, Bintaro pada 19 Oktober 1987. Kecelakaan tersebut terjadi karena salah satu kereta tidak berhenti sesuai dengan jadwal dan jarak aman yang telah ditentukan. Akibatnya, kereta yang melaju dengan kecepatan tinggi menabrak kereta yang sedang berhenti di stasiun.
-
Kapan Tragedi Bintaro terjadi? Tragedi Bintaro 1987 terjadi karena kecelakaan kereta api yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Kronologi kejadian dimulai saat dua kereta api bertabrakan di Stasiun Pondok Ranji, Bintaro pada 19 Oktober 1987.
-
Apa yang terjadi saat Atang Sendjaja gugur? Atang yang berada di dalam kabin besi pun terperangkap dan meninggal seketika karena terkena tegangan listrik.
-
Apa yang terjadi di Tragedi Semanggi 1? Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998. Kejadian ini menyebabkan tewasnya 17 warga sipil.
-
Kapan tragedi Kanjuruhan terjadi? Puncaknya meletus pada Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022.
Pernyataan Jaksa Agung yang membuatnya divonis bersalah oleh PTUN DKI adalah sebagai berikut:
Peristiwa Semanggi I dan II sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
Seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti, karena tidak ada alasan untuk dibentuknya pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU no.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
Ferry menegaskan, ada kalimat yang sama sekali tidak diucapkan oleh Jaksa Agung saat rapat bersama DPR RI.
"Dalam video, Jaksa Agung tidak pernah menyatakan kalimat 'Seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti, dan seterusnya'. Tidak ada kalimat ini, sementara kalimat ini menjadi objek sengketa. Dalam putusannya ada kalimat ini, padahal dalam rekaman Jaksa Agung tidak pernah menyatakan kalimat ini dalam tanya jawab," jelas dia.
Meski begitu, Ferry tidak menyimpulkan bahwa gugatan tersebut melampirkan fakta yang mengada-ada atau pun informasi bohong alias hoaks. Pada dasarnya, ini menjadi tanggung jawab hakim sebelum memutuskan sebuah perkara.
"Siapa pun boleh menggugat apapun. Yang harus dilakukan hakim adalah meneliti apakah gugatan tersebut sesuai yang terjadi atau tidak. Maka kewajiban hakim meneliti alat bukti yang ada. Namun dalam perkara ini, PTUN Jakarta tidak melakukan penelitian bukti sebagaimana seharusnya sebelum memutuskan perkara. Jadi ini bukan masalah hoaks, tapi metode yang dilakukan," Ferry menandaskan.
Sebelumnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta memvonis Jaksa Agung ST Burhanuddin bersalah atas pernyataannya terkait tragedi Semanggi I dan II.
Ketua hakim sidang Andi Muh Ali Rahman menyatakan, bahwa Burhanuddin melawan hukum atas pernyataan yang disampaikan dalam rapat dengan Komisi III DPR pada 16 Januari 2020.
"Menyatakan tindakan pemerintah berupa penyampaian tergugat dalam rapat kerja antara Komisi III DPR dan Jaksa Agung pada tanggal 16 Januari 2020 adalah perbuatan hukum oleh badan dan/pejabat pemerintahan," kata Andi dalam amar putusannya, seperti dikutip dari situs resmi PTUN DKI, Rabu (4/11).
Selain itu, lanjut Andi, Burhanuddin atau lembaganya sebagai tergugat, juga diwajibkan membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi I dan II. Andi menegaskan, pernyataan harus dibuat sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
"Pernyataan dibuat dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya, sepanjang belum ada keputusan yang menyatakan sebaliknya," tegas Andi.
Terakhir, putusan juga membebani tergugat dengan membayar biaya perkara Rp 285.000.
Berikut perkataan Burhanuddin yang membuatnya divonis bersalah oleh PTUN DKI:
Peristiwa Semanggi I dan II sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
Seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti, karena tidak ada alasan untuk dibentuknya pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU no.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
Reporter: Nanda Perdana
Sumber : Liputan6.com
Baca juga:
Kejagung Siap Banding Vonis PTUN soal Tragedi Semanggi: Banyak Aturan Diabaikan
DPR Minta Jaksa Agung Seharusnya Terima Putusan Atas Pernyataan Tragedi Semanggi
Kejagung Ciduk Buronan 4 Tahun Korupsi APBD Kolaka Timur di Makassar
DPO Kasus Korupsi Pengadaan Tanah di Dermaga Gunaksa Bali Ditangkap
Pinangki Akui Tak Lapor saat Ketemu Djoko Tjandra: Saya Menceritakan bukan Melaporkan