Ketika SBY memilih bersikap 'in between'
'In between' secara sederhana bisa diartikan posisi yang berada di antara dua ekstrem.
Selalu Ada Pilihan. Itulah judul buku memoar politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang diluncurkan baru-baru ini. Selalu ada pilihan, diakui SBY adalah cara pandangnya melihat hidup.
"Life is a choice," kata SBY dalam peluncuran di Jakarta Convention Center, Jumat pekan lalu.
Menurut dia, seseorang ingin menjadi apa, itu pilihan masing-masing. Masa depan seperti apa, itu juga pilihan sendiri.
"Pendekatan dan cara apa untuk atasi masalah itu pilihan, sampai siapa yang paling tepat memimpin adalah pilihan dan puncak dari kebebasan adalah bebas untuk memilih. Dengan perspektif dan konteks itulah buku ini saya beri judul selalu ada pilihan," ujar SBY.
Di buku setebal 807 halaman itu, pembaca juga bisa melihat cara SBY memilih sikap, kebijakan, gaya dan pandangan terhadap suatu hal. Dari beberapa kisah yang ditulisnya, SBY tampak memilih sikap 'in between' (di antara), baik dalam sikap, kebijakan, gaya dan pandangannya.
'In between' secara sederhana bisa diartikan posisi yang berada di antara dua ekstrem. Posisi Partai Demokrat sebagai partai tengah dalam spektrum ideologi (tidak ke kanan dan ke kiri), barangkali menjadi salah satu bukti bagaimana SBY mendasarkan sikap 'in between' dalam berpolitik.
Berikut adalah sikap 'in between' yang ditulis SBY dalam buku 'Selalu Ada Pilihan':
-
Untuk siapa rekomendasi 10 bedak ini ditujukan? Berikut ini adalah 10 rekomendasi bedak yang cocok untuk wanita di atas usia 50 tahun.
-
Bagaimana Suprawoto bisa mendapatkan banyak buku? “Pernah suatu saat saya beli online satu bulan itu 200 judul. Karena hobi, selain itu juga kebiasaan. Karena orang yang hobinya menulis itu harus banyak membaca supaya cakrawala berpikirnya luas, juga pengalaman, dan lain sebagainya,”
-
Apa yang membuat liburan terbaik menurut quote ini? "Sebuah liburan terbaik diukur dalam teman, bukan cuma jarak tempuh."
-
Di mana Sensen menyimpan koleksi tasnya? Di lantai dua, ada lemari kaca yang ukurannya cukup besar. Di sana lah kelak Sensen menyimpan koleksi tasnya.
-
Kapan Isna Sari mengubah daftar belanjanya? Ia mengungkapkan telah mengubah daftar belanjanya sejak awal konflik Gaza pecah.
-
Apa yang ditawarkan Toko Buku Bandung untuk menarik minat baca? Koleksi buku di Toko Buku Bandung juga sangat bervariasi, mulai dari buku-buku sejarah hingga komik, dari harga yang terjangkau mulai dari lima ribu rupiah sampai dua puluh lima juta, dari buku-buku lawas yang sudah berumur satu abad lebih hingga buku-buku yang baru diterbitkan juga ada,” katanya.
Gaya komunikasi
SBY mengatakan gaya komunikasinya adalah ada di antara gaya komunikasi dua pendahulunya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri. Sikap Gus Dur dan Megawati bisa dikatakan dua titik ekstrem dalam menanggapi isu dan komentar publik.
"Gus Dur lebih reaktif, sedangkan Ibu Megawati cenderung diam," kata SBY di halaman 611 buku 'Selalu Ada Pilihan', seperti dikutip merdeka.com.
SBY mengatakan, tentu kedua mantan bosnya itu memiliki pertimbangan masing-masing dalam bersikap demikian. "Tidak bisa dianggap jelek," katanya.
Namun, kata SBY, terkait dua model komunikasi itu, dia memilih berada di tengah. "Saya memilih di antara keduanya (Gus Dur-Megawati)," kata SBY.
"Jika harus bicara ya saya bicara, tetapi jika harus diam saya pun akan diam," jelas SBY.
SBY mengakui, dia sengaja untuk tidak menanggapi setiap isu dan komentar para pengamat dan politisi. Karena, di samping tidak perlu, juga akan menyita waktunya.
"Berarti, kalau hal begitu saya lakukan saya justru tidak bisa bekerja. Waktu saya akan habis untuk itu," ujar SBY menambahkan pertimbangan lain adalah agar politik tidak terus tegang dan panas.
Namun ada kalanya SBY cepat merespons isu dan komentar publik. "Bahkan, dalam banyak hal saya respons secara seketika, terutama kejadian yang bersifat eskalatif dan bisa memburuk," katanya.
"Atau saya respons sebelum isu itu bergerak liar ke kiri dan ke kanan, yang akhirnya bisa sungguh mengganggu," imbuh SBY.
Topik pilihan: Presiden SBY | Ani Yudhoyono
Gaya memimpin
Menurut SBY, ada banyak sifat dan gaya seorang pemimpin, termasuk presiden. Setidaknya bisa dikerucutkan menjadi dua kutub.
"Ada yang maunya terima bersih, berarti para menteri dan staf yang mengerjakan. Ada yang suka menangani sendiri, sehingga staf dan mungkin menterinya tidak banyak berperan," kata SBY di halaman 607 buku 'Selalu Ada Pilihan', seperti dikutip merdeka.com.
Untuk gaya yang pertama, jelas SBY, biasanya presiden tersebut melakukan tugasnya serba formal. Sedangkan yang kedua, si presiden tidak mau diatur dan membiarkan mengalir begitu saja.
"Kalau Anda ingin mengetahui apa yang saya pilih - pilihan saya di antara keduanya," kata SBY.
SBY menjelaskan, tidak mungkin dalam sidang atau rapat kabinet tidak ada agenda dan tujuan dari rapat. "Tetapi tidak mungkin pula saya hanya memberikan pengantar dan pengarahan akhir, apalagi jika semuanya serba disiapkan," jelasnya.
Topik pilihan: Presiden SBY | Ani Yudhoyono
Soal blusukan
Soal blusukan, SBY juga tidak mau mengambil posisi ekstrem: sering melakukan blusukan atau tidak mau blusukan. SBY memilih 'in between' yakni melakukan blusukan asalkan "harus punya tujuan dan sasaran."
"Blusukan is not for the sake of blusukan. Apalagi hanya untuk pencitraan semata," ujar SBY di halaman 628 buku 'Selalu Ada Pilihan', seperti dikutip merdeka.com.
Mengutip teori kepemimpinan dan manajemen, SBY mengatakan, seorang pemimpin dinyatakan keliru jika hanya duduk di belakang meja.
"Sama salahnya jika seorang pemimpin tidak peduli pada pembuatan kebijakan, rencana dan program, dan memilih untuk lebih baik jalan dan berkeliling-keliling di wilayahnya," ujar SBY.
Topik pilihan: Presiden SBY | Ani Yudhoyono
Kapabiltas atau popularitas?
Menurut SBY, kalau ingin menjadi pemimpin haruslah memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik. Namun, kata SBY, kalau calon pemimpin itu harus melalui pemilihan, seperti pilpres, dia harus mempunyai popularitas dan akseptabilitas yang tinggi.
"Jika dikaitkan dengan pemilihan pemimpin politik, apakah pilpres atau pilkada, situasinya sering menjadi sangat dilematis. Ada calon yang sangat populer, tetapi dianggap kurang kemampuannya. Atau sebaliknya, dia dinilai kapabel, tetapi kurang disukai rakyat," kata SBY di halaman 468 buku 'Selalu Ada Pilihan', seperti dikutip merdeka.com.
Untuk dilema ini, SBY memberi jalan keluar yang tidak ekstrem mendukung salah satunya: kapabilitas atau popularitas. Akan tetapi, dia mengambil solusi 'in between' dengan memerhatikan kondisi yang ada.
SBY mengatakan, jika ada tokoh yang amat populer sekarang ini, tetapi kapabilitas yang bersangkutan dinilai belum cukup untuk langsung memimpin negeri ini di tahun 2014 mendatang, tentu harus ada sesuatu yang dilakukan, baik oleh tokoh yang bersangkutan atau pihak-pihak yang mengusungnya.
"Jadi, kalau hampir semua orang mengatakan bahwa kemungkinan terpilihnya lebih dari 90 persen, dan boleh dikata dia benar-benar tak terbendung (unstoppable), maka lebih baik dipersiapkan saja. Isi dan tingkatkan wawasan dan kemampuannya," ujar SBY.
Sebaliknya, kata SBY, jika ada tokoh yang amat kapabel tetapi tidak populer, maka harus ditingkatkan popularitas dan elektabilitasnya. "Tetapi, jangan bohong dan jangan melebih-lebihkan," kata SBY.
Baca juga:
Apa yang dilakukan SBY setelah pensiun menjadi presiden?
'Buku SBY seperti sedia payung sebelum hujan'
Cerita SBY 'ditolak' bupati di Bali karena Megawati
SBY: Gus Dur lebih reaktif, Megawati cenderung diam
Setiap salaman dengan Megawati, SBY terima banyak SMS