Kisah masa kecil Gus Dur, nakal tapi pintar
Gus Dur kerap diikat dengan tambang di tiang bendera di depan rumah.
Meski terlahir sebagai anak Wahid Hasyim, Gus Dur tumbuh seperti anak-anak seusianya. Dia juga nakal, bahkan bisa dibilang berperilaku nyeleneh karena sikap nakalnya tidak bisa ditekan oleh ayahnya. Gus Dur kerap diikat dengan tambang di tiang bendera di depan rumah sebagai hukuman untuk sikap nakalnya.
Ketika belum genap berumur 12 tahun, Gus Dur sudah dua kali patah lengan akibat kegemarannya memanjat pohon. Pertama kali lengannya patah karena terjatuh dari pohon akibat dahan yang dia injak patah.
Kemudian, dia juga hampir kehilangan tangannya. Kisahnya, waktu itu dia mengambil makanan dari dapur lalu memakannya di atas pohon besar. Karena keenakan di atas pohon dia sampai tertidur lalu menggelinding dan terjatuh ke bawah.
Dalam ingatan Gus Dur , seperti diceritakan Greg Barton, penulis buku Biografi Gus Dur , waktu itu dia mengalami patah tulang serius sehingga tulang lengannya menonjol keluar. Dokter pertama yang merawatnya khawatir kemungkinan dia akan kehilangan tangannya. Beruntung, karena kecekatan dokter, tangannya bisa disambung kembali.
"Akan tetapi pengalaman ini hampir tak berpengaruh terhadap dirinya karena Gus Dur muda tetap kurang berhati-hati dan selalu bertindak impulsif."
Namun demikian, di balik tingkah nakalnya itu, Gus Dur kecil juga dikenal sebagai pecandu buku bacaan. M Hamid, dalam bukunya berjudul: Gus Gerr: bapak pluralisme & guru bangsa, mengisahkan soal hobi membaca Gus Dur . Hamid mengutip buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur .
Dalam buku itu dikisahkan, beberapa kali Gus Dur ditegur oleh ibunya soal kebiasaannya membaca. "Jangan terlalu banyak membaca, nanti matamu rusak," begitu kata sang bunda sambil membolak-balik halaman novel sastra putranya yang baru berusia 10 tahun.
Gus Dur memang maniak membaca. Dia benar-benar memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Dia juga kerap berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia itu, dia sudah akrab dengan buku-buku serius, dari filsafat, cerita silat, sejarah, hingga sastra.
Sejak duduk di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Gus Dur sudah menguasai bahasa Inggris. Dalam waktu dua tahun, saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), dia sudah melahap beberapa buku bahasa Inggris, di antaranya; Das Kapital karya Karl Marx, buku filsafat Plato, Thalles, Novel karya William Bochner.
Adapun karya sastra yang dia baca di antaranya karya Ernest Hemingway, John Steinbeck, dan William Faulkner. Dia juga tuntas membaca beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti; Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky, dan Mikhail Sholokov.
Namun saat di SMEP itu, Gus Dur pernah tidak naik kelas. Konon, dia mengaku kehilangan gairah sekolah karena tidak mendapat teman yang mengerti pikirannya. Akibatnya, Gus Dur sering membolos dan memilih pergi ke perpustakaan serta menonton film di bioskop. Bahkan sering kali dia lebih memilih sepak bola ketimbang sekolah. Walhasil, Gus Dur tidak naik kelas.
Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada Kiai Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Lagi-lagi, Gus Dur memberontak. Dia merasa aturan di pondok pesantren terlalu ketat, sehingga dia meminta izin ke ibunya untuk kos di luar pondok.
Pada akhirnya, dia kos di daerah Kauman, di lingkungan sekitar Keraton Yogyakarta. Dia tinggal di rumah Haji Djunaid, seorang tokoh organisasi Islam Muhammadiyah. Haji Djunaid merupakan sahabat dekat Wahid Hasyim, ayah Gus Dur . Selain nyantri di pondok pesantren, dia juga melanjutkan pendidikan di SMP. Benar saja, sejak kos itu Gus Dur semakin giat belajar.
Di sekolah, kemampuan Dur meningkat, terutama pengetahuan bahasa Inggrisnya. Akhirnya pada 1957 dia lulus SMP, lalu pindah ke Magelang untuk memulai pendidikan muslim di Pesantren Tegalrejo. Di Magelang Gus Dur mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun).
Baca juga:
Cerita Gus Dur persilakan bendera OPM berkibar di Papua
Bulan Gus Dur, berita langit, dan Opik
Guyonan Gus Dur saat lupa tanggal lahirnya
Gus Dur lahir sebagai Abdurrahman 'sang penakluk'
Desember, Bulan Gus Dur di merdeka.com
-
Siapa yang disebut Gus Dur sebagai wali? Di mata Gus Dur sendiri, Kiai Faqih adalah seorang wali. “Namun, kewalian beliau bukan lewat thariqat atau tasawuf, justru karena kedalaman ilmu fiqhnya,” kata Gus Dur
-
Bagaimana Gus Dur mengubah namanya? Nama asli beliau, Abdurrahman Ad-Dakhil, diberikan oleh ayahnya, KH. Wahid Hasyim, dengan harapan agar Gus Dur kelak memiliki keberanian seperti Abdurrahman Ad-Dakhil, pemimpin pertama dinasti Umayyah di Andalusia. Namun, nama Ad-Dakhil kemudian diganti dengan "Wahid," yang diambil dari nama ayahnya.
-
Mengapa Gus Dur disebut sebagai Bapak Pluralisme? Kedekatan Gus Dur dengan masyarakat minoritas dan orang-orang terpinggirkan, membuatnya dikenal sebagai sosok yang plural dan menghargai semua perbedaan. Hal ini yang kemudian Gus Dur dijuluki sebagai Bapak Pluralisme Indonesia.
-
Apa saja yang dilakukan Gus Dur untuk menunjukkan toleransi dalam kehidupan berbangsa? Pasalnya beliau selama hidup selalu menanamkan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan berbangsa.
-
Bagaimana Gus Dur menanamkan nilai toleransi dalam kehidupan berbangsa? Pasalnya beliau selama hidup selalu menanamkan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan berbangsa.
-
Di mana Gua Suran berada? Di Kecamatan Jatinom, Klaten, terdapat sebuah gua yang oleh penduduk setempat dinamakan Gua Suran.