Kisah pilu Mbah Bati, puluhan tahun seatap dengan kambing
Anak-anaknya jarang menjenguk bahkan terkesan tak peduli.
Cerita nestapa Mbah Bati ini menyadarkan pentingnya berbagi. Ketika para pejabat lebih mementingkan urusan pribadi, ada Mbah Bati (70) dan Mbah Giyo (80) dengan cerita menyayat hati.
Bagaimana tidak, pasangan suami istri yang tua renta ini harus rela menghabiskan hidupnya puluhan tahun bersama ternak peliharaan yang menjadi mata pencarian mereka. Bukan sekadar memelihara dan menggembala, tapi mereka dan ternaknya tinggal di satu rumah yang sama, bahkan tidur berdampingan. Miris.
-
Kenapa Jurig Jarian muncul? Legenda ini mengisahkan bahwa Jurig Jarian adalah hasil energi negatif yang berkumpul di lokasi tersebut.
-
Bagaimana bentuk Jurig Jarian? Mulai dari perempuan berambut panjang, sosok bertubuh tinggi dan besar sampai yang menyerupai tuyul karena ukurannya yang kecil dan berkepala botak.
-
Apa itu Jurig Jarian? Dalam bahasa Sunda, Jurig berarti hantu dan Jarian adalah tempat yang kotor. Sesuai namanya, sosok menyeramkan ini muncul dari daerah yang kotor seperti tempat sampah.
-
Bagaimana ciri-ciri orang pelit? Sementara itu, orang pelit memiliki sejumlah ciri-ciri yang mudah diamati dari sikap seseorang kepada orang lain. Di antara yakni menyisihkan harta hanya untuk diri sendiri, jauh dari sikap bersedekah, tak membantu fakir miskin, dan sombong.
-
Apa makna dari pepatah Jawa "Kacang ora ninggal lanjaran"? Kebiasaan anak selalu meniru dari orang tuanya.
-
Apa yang dimaksud dengan pepatah Jawa "Mikul dhuwur mendhem jero"? "Mikul dhuwur mendhem jero" berarti seorang anak yang menjunjung tinggi derajat orang tua, atau anak yang selalu menghormati orang tua. Makna dari pepatah ini adalah bahwa seorang anak harus selalu menghargai jasa orang tua dan berusaha untuk selalu membanggakan mereka.
Kisah nyata ini ada di Desa Punggu, Kecamatan Penawangan, Grobogan, Jawa Tengah. Menurut para tetangga, pasutri ini sudah membina rumah tangga lebih dari 40 tahun lamanya.
"Mbah Giyo suami kedua Mbah Bati. Dari pernikahan Mbah Bati yang pertama dikaruniai dua anak, perempuan dan laki-laki. Sedangkan dari pernikahannya bersama Mbah Giyo dikaruniai tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan," cerita Icuk (30), tetangga Mba Bati yang juga warga Desa Punggu, saat berbincang dengan merdeka.com, Selasa (21/5).
Menurut Icuk, luas rumah Mbah Bati lebih kurang 7 meter persegi. Meski beratapkan genteng, rumah kecil itu masih berlantaikan tanah, berdinding bambu dan tidak memiliki kamar mandi. Saat musim hujan datang, cucuran air pun membasahi.
Tak punya kasur apalagi televisi. Mbah Bati hanya punya radio uzur yang dimilikinya sejak muda.
"Listrik diberi sama keponakannya yang tinggal depan rumah mereka. Itu pun hanya dialiri listrik 5 watt, dan hanya dihidupkan malam sampai subuh," tambahnya.
Selain Mbah Bati dan Mbah Giyo, di rumah itu tinggal putri dari pernikahan keduanya yang mengalami gangguan mental. Mereka bersempit-sempit dengan ternak kambing dan ayam yang tinggal di dalam rumah.
"Kalau Mbah Bati masih ada sekat dari bambu jadi nggak tidur berdampingan sama kambingnya. Tapi kalau Mba Giyo ya tidurnya sebelahan sama kambing. Kalau ayam-ayam itu di bagian dapur," jelas ibu satu orang anak ini.
Sungguh tak bisa dibayangkan sedihnya kehidupan pasangan tua ini. Apalagi jika musim penghujan datang, bau kotoran ternak semakin terasa menyengat. Belum lagi selokan yang mampet menambah kumuhnya rumah itu.
Sebenarnya, lanjut Icuk, rumah Mbah Bati berdekatan dengan rumah putri dari pernikahan pertamanya. Tapi sayang, putrinya itu terlalu sibuk dengan keluarganya.
"Tapi dia tidak terlalu peduli. Dulu Mbah Bati pernah dialiri listrik sama dia, tapi diminta bayaran, ya mana ada uang Mbah Bati. Akhirnya diputus, dan Mbah Bati pakai senter. Kalau anak laki-lakinya dari pernikahan pertama di luar kota," tambahnya.
Meski sudah tua dan tubuhnya membungkuk, Mbah Bati masih kuat menggembala kambing-kambingnya. Saat ini, Mbah Bati memiliki dua ekor kambing. Setelah besar, nantinya kambing itu dijual ke pasar yang tak jauh dari rumahnya.
"Kalau Mbah Giyo lebih banyak duduk di rumah karena sudah tua dan lemas. Beliau juga kurus sekali."
Untuk sekadar mengisi perut agar tak kelaparan, lanjut Icuk, biasanya Mba Bati mendapat sumbangan dari warga. Selain itu, Mbah Bati juga mendapatkan bantuan raskin dari pemerintah setempat.
"Kadang ada warga yang kasih dua-tiga ribu. Kalau dari pemerintah cuma dapat raskin," tambahnya.
Mbah Bati yang sesekali sakit mau tidak mau terpaksa pasrah. Menjadi tulang punggung sekaligus mengurus anak yang mengalami gangguan mental. Jika kambing atau ayamnya sudah bisa menghasilkan uang, akan dijual.
"Kadang cucunya dari Jakarta pulang kasih uang juga," ucap Icuk.
Icuk tak melihat ada bantuan lebih dari pemerintah setelah melihat nasib Mbah Bati dan Mbah Giyo. Meski demikian, dia melihat Mbah Bati tak putus asa dan sabar menikmati jalan hidupnya.
"Mbah Bati orang yang ramah dan baik. Setiap bertemu orang yang tua dan muda disapanya. Saya berharap ada uluran tangan yang iklas membantu kehidupan mereka," harap wanita berusia 30 tahun ini.
(mdk/lia)