KPAI minta kasus siswi dihukum squat jump hingga lumpuh diusut tuntas
Hanum Dwi Aprilia (17), siswi kelas XI Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Gondang, Mojokerto Jawa Timur, mengalami ngilu pada kedua kakinya dan gejala lumpuh, usai menjalani hukuman squat jump. Hukuman itu diberikan oleh kakak kelasnya karena Hanum terlambat datang pada kegiatan ekstra kurikuler UKKI.
Hanum Dwi Aprilia (17), siswi kelas XI Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Gondang, Mojokerto Jawa Timur, mengalami ngilu pada kedua kakinya dan gejala lumpuh, usai menjalani hukuman squat jump. Hukuman itu diberikan oleh kakak kelasnya karena Hanum terlambat datang pada kegiatan ekstra kurikuler Unit Kegiatan Kerohanian Islam (UKKI).
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyesalkan terjadinya hukuman fisik tersebut. Dia mendesak kasus tersebut diusut tuntas.
-
Kapan kaki seribu sering terlambat sekolah? Soalnya kakinya banyak, jadinya kalau pakai sepatu kelamaan.
-
Apa bentuk kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan? KPAI menilai segala bentuk kekerasan anak pada satuan pendidikan mengakibatkan kesakitan fisik/psikis, trauma berkepanjangan, hingga kematian. Bahkan lebih ekstrem, anak memilih mengakhiri hidupnya.
-
Apa yang dilakukan dosen muda ini di kelas? Sebelum masuk ke kelas, dosen muda bernama Akbar ini memang sudah berkenalan dengan mahasiswanya yang masih baru. Saat masuk ke kelas, mahasiswanya pun bertanya apakah ia kakak tingkat.
-
Siapa yang diduga melakukan pelecehan di sekolah? Korban diduga telah melakukan pelecehan terhadap para siswi di sekolah.
-
Siapa yang tampil di panggung acara sekolah? Kedua putri mereka, Megu dan Mishka, tampil memukau di panggung acara sekolah.
-
Kapan kelas BPJS dihapus? Sehingga, Rizzky memastikan besaran iuran sekarang masih tetap sama dengan apa yang sudah berlaku selama ini."Untuk iuran masih tetap, karena tidak ada penghapusan kelas otomatis untuk iuran, ini masih mengacu kepada Perpres yang masih berlaku yaitu Perpres 64 tahun 2020 jadi masih ada kelas dan iuran masih sama," kata Irsan di kantor Kemenkes, Jakarta, Rabu (15/5).
"Kasus ini harus diusut tuntas motif dan otak pelaku penghukuman fisik yang berpotensi membahayakan anak. Harus ada penegakan aturan agar ada efek jera bagi siapapun pelaku kekerasan di sekolah," katanya, Sabtu (21/7).
Dia menegaskan, jika ditemukan unsur kelalaian pihak sekolah dalam kontrol kegiatan ekskul di sekolah, maka pihak sekolah wajib bertanggungjawab. Apalagi peristiwanya terjadi dilingkungan sekolah.
"Pihak sekolah seharusnya memiliki kewajiban melindungi peserta didiknya dari berbagai bentuk kekerasan di lingkungan sekolah sebagaimana di atur dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa: 'anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temanya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya," katanya.
Menurutnya, KPAI akan meminta Dinas Pendidikan Kabupaten Mojokerto untuk memeriksa pihak sekolah dan menegakkan aturan jika sekolah terbukti lalai dalam melindungi peserta didik dari kekerasan.
Selain itu, KPAI akan melakukan pengawasan lapangan untuk bertemu korban dan keluarganya, mengunjungi sekolah untuk meminta kronologi kejadian dan siapa saja yang terlibat. Saat pengawasan, KPAI juga akan berkoordinasi dengan pihak pemerintah daerah Mojekerto terkait rehabilitasi kesehatan korban yang harus melibatkan Dinas Kesehatan Mojokerto dan rehabilitasi pskologis (karena korban mengalami trauma) dengan melibatkan Dinas PPPA dan P2TP2A kabupaten Mojokerto.
"Pembiayaan pengobatan dan pemulihan korban seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah daerah melalui OPD terkait," katanya.
Terkait masih masih tingginya kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah, KPAI mendorong percepatan Preraturan Presiden (Perpres) tentang Sekolah Ramah Anak (SRA). Saat ini dari 260 ribu sekolah dari jenjang SD hingga SMA/sederajat baru sekitar 8.000 sekolah yang mendeklarasikan diri sebagai Sekolah Ramah Anak (SRA).
"Prepres SRA akan melibatkan kementerian terkait dalam pelaksanaannya yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kehadiran Perpres SRA diharapkan mampu memutus mata rantai kekerasan di sekolah dan menjamin tumbuh kembang anak berdasarkan pemenuhan hak-hak anak dalam lima kluster Kovensi Hak Anak (KHA). Perpres SRA selama dua tahun terakhir mandek pembahasannya. Kasus kekerasan fisik yang dialami ananda Dwi harus dijadikan momentum bersama mempercepat ditandatanganinya Perpres SRA oleh Presiden," katanya.
Berdasarkan data KPAI, jumlah kasus kekerasan fisik di pendidikan paling tinggi. Data bidang pendidikan KPAI per Mei 2018 terdapat 161 kasus. Rinciannya yakni anak korban tawuran sebanyak 23 (14,3%) kasus, anak pelaku tawuran sebanyak 31 (19,3 %) kasus, anak korban kekerasan dan bullying sebanyak 36 (22,4 %) kasus, anak pelaku kekerasan dan bullying sebanyak 41 (25,5%) kasus, dan anak korban kebijakan (pungli, dikeluarkan dari sekolah, tidak boleh ikut ujian, dan putus sekolah) sebanyak 30 (18,7%) kasus. Tahun 2018 kasus pendidikan menempati posisi ke 4 teratas setelah kasus pornografi dan cybercrime.
Baca juga:
Dihukum kakak senior squat jump, siswi SMA ini alami gejala lumpuh
3 Dari 9 murid ditampar guru di Purwokerto alami cidera dan trauma berat
Viral video guru di Purwokerto tampar murid di depan kelas
Kepanikan siswa & orang tua saat penembakan brutal di sekolah Florida
Emosi, orangtua siswa hantam meja kaca ke kepala guru SMP 4 Lolak
Kemendikbud sebut video yang viral perkelahian siswa, bukan guru pukul murid