Lorong cendol, tempat produksi cendol legendaris di Makassar
Di sini ada empat keluarga yang sudah turun temurun memproduksi cendol.
Cendol dari tepung beras rupanya jadi favorit di bulan Ramadan. Pasalnya, penganan cendol ini bisa menjadi bahan berbagai sajian menu. Seperti es cendol yang dicampur gula merah, santan dan serutan es batu, juga bisa jadi bahan campuran es buah, sop buah dan macam-macam modifikasi untuk takjil yang menyegarkan.
Di Makassar, ada lorong 166 di Jalan Barukang Raya, di Kelurahan Cambayya, Kecamatan Ujung Tanah dikenal dengan julukan lorong cendol. Karena di lorong itu ada empat keluarga yang cukup terkenal dengan produksi cendolnya setiap hari. Memang hanya empat rumah yang bertetangga mengelola usaha pembuatan cendol itu, tetapi warga sekitar turut memanfaatkan keberadaannya. Mereka bisa jadi tenaga bantu di waktu-waktu tertentu di tempat itu dengan imbalan Rp 20 ribu sehari sebagai tenaga pembungkus paket cendol.
Pasaran cendolnya juga bukan hanya di Kota Makassar tetapi hingga kabupaten-kabupaten terdekat seperti Maros, Pangkep dan Barru. Khususnya di bulan Ramadan. Permintaan meningkat, alhasil produksi pun harus ditingkatkan untuk melayani permintaan yang membanjir sehingga tenaga kerja juga harus ditambah.
Hajjah Halijah (53), salah satu pembuat cendol sekaligus perintis di lorong cendol itu sejak 15 tahun silam. Produksi cendolnya meningkat 100 persen sejak awal masuk Ramadan. Yang biasanya mempoduksi cendol hanya 1.500 bungkus dari tepung beras sebanyak 150 kilogram, kini harus memproduksi hingga 2.500 bungkus dari 250 kilogram tepung beras.
Untuk pengerjaannya demi memenuhi permintaan langganannya yang datang hingga luar daerah itu, nenek bercucu 12 orang ini melakukan penambahan tenaga kerja. Yang biasanya hanya lima orang kini menjadi 25 orang yang rata-rata sebagai tenaga pembungkus.
"Jadi cendolnya mulai dikerja malam hari, pukul 21.00 Wita dari memasak bahan baku tepung beras, memasukkan dalam kotak berlubang sebagai cetakan lalu diwarnai yang biasanya warnah hijau kemudian dibungkus. Pagi harinya dijemput oleh pemesan. Sehingga siang harinya para tenaga kerja bisa istirahat," kata Hajjah Halijah.
Satu bungkus cendol, diratakan harganya Rp 2.500 per bungkus. kata Hajjah Halijah, usaha cendolnya bisa bertahan hingga saat ini karena senantiasa menjaga kualitas. Dia menjamin, cendol buatannya tidak menggunakan pengawet jenis apapun.
"Karena tidak menggunakan pengawet maka hanya bisa tahan kurang lebih sehari. Tapi yang seperti ini dicari warga karena dirasa lebih aman, tidak mengancam kesehatan. Cendol saya ini sudah sering diuji tim dari Dinas Kesehatan dan tidak pernah menemukan adanya tambahan bahan pengawet," kata Hajjah Halijah.
Adapun Yanti (38), juga salah seorang pembuat cendol mengaku, usaha cendol yang dilakoninya itu adalah warisan neneknya. Sehingga usaha penganan sederhana itu sudah tiga turunan yang membuat hidup hingga anak cucu.
"Sejak zamannya beras dijadikan tepung dengan cara ditumbuk menggunakan alu. Hingga saat ini proses beras jadi tepung sudah menggunakan mesin," tutur Yanti seraya menambahkan, cendol ini dijual bareng dengan cincau, biji delima dan mutiara agar memudahkan orang untuk meracik.