Dikelilingi Gedung Bertingkat, Begini Kisah Gedung Candra Naya di Pecinan Jakarta Barat yang Legendaris Sejak 1807
Dikelilingi gedung pencakar langit, rumah Candra Naya di Jakarta Barat ini punya kisah unik.
Dikelilingi gedung pencakar langit, rumah Candra Naya di Jakarta Barat ini punya kisah unik.
Dikelilingi Gedung Bertingkat, Begini Kisah Gedung Candra Naya di Pecinan Jakarta Barat yang Legendaris Sejak 1807
Bangunan ini bernama Candra Naya. Keberadaannya mencuri perhatian lantaran usianya sudah ratusan tahun sejak berdiri pada 1807.
Bangunan ini dikelilingi gedung-gedung pencakar langit, sehingga keberadaannya jadi tampak kecil.
-
Apa yang awalnya menjadi Gedung Kesenian Jakarta? Mulanya bernama Municipel Theatre Sebelum menjadi pusat kesenian warga, Gedung Kesenian Jakarta merupakan ruang hiburan sederhana yang terbuat dari gedek bambu yang sudah ada pada 1804.
-
Dimana Gedung Kesenian Jakarta dibangun? Di masa-masa awal keberadaannya, gedung ini bernama Municipel Theatre atau Schouwburg, yang memiliki arti gedung komidi, dan didirikan di dekat kawasan pasar baru Jakarta Pusat karena dinilai strategis.
-
Apa ciri khas dari Gedung Cerutu di Kota Tua Surabaya? Ciri khas Gedung Cerutu adanya menara di atas gedung yang berbentuk seperti cerutu.
-
Apa yang terlihat unik dari gedung di Jakarta masa depan? Salah satu hal yang paling mencolok adalah gedung-gedung tinggi di Jakarta berubah menjadi gaya yang lebih futuristik. Gedung-gedung pencakar langit yang memiliki kesan modern ini mengisi sepanjang jalan Sarinah.
-
Apa itu Gedung Menggantung? Menara Analemma adalah sebuah konsep bangunan yang direncanakan untuk digantung di atas Kota New York.
-
Dimana Gedung Cerutu berada di Kota Tua Surabaya? Mengutip Liputan6.com, ada dua bangunan cagar budaya di Kota Tua Surabaya kawasan Jalan Rajawali.Pertama, Gedung Cerutu.
Selain dipagari gedung pencakar langit, keunikan dari Candra Naya adalah desain bangunannya yang kental dengan nuansa Tiongkok lawas. Konon bangunan ini merupakan peninggalan dari seorang Mayor Tionghoa modern di Batavia bernama, Khouw Kim An.
Khow Kim An merupakan keturunan dari seorang tuan tanah yang sukes di masanya. Pendahulunya, mewariskan rumah mewan yang kini menjadi gedung Candra Naya.
Begini kisah gedung Candra Naya yang legendaris.
(Gambar: YouTube Property And Fun)
Letaknya di Jalan Gajah Mada 188
Mengutip laman resmi Pemkot Jakarta Barat, bangunan ini terletak persis di Jalan Gaja Mada nomo 188.
Karena dikelilingi gedung pencakar langit, keberadaan bangunan Candra Naya ini unik dan selalu teduh.
Bangunan ini jadi salah satu saksi sejarah perkembangan etnis Tionghoa di abad ke-19 sampai abad ke-20 melalui sang pemilik terakhir, Khouw Kim An.
Kondisi Bangunan Terawat
Walau terlihat tua, namun bangunan ini masih terpelihara dengan baik. Ini tampak dari area sekitar yang selalu dibersihkan, serta dinding dan unsur bangunan yang masih berbentuk utuh.
Simbol khas Tiongkok terlihat jelas pada bagian atap, dengan bentuk yang sedikit melengkung ke bawah dan meruncung ke atas di bagian sisi kanan dan kirinya
Di sana juga terdapat daun jendela dan pintu besar berbahan kayu yang dicat hijau, dengan ornamen khas Tiongkok lawas. Semakin indah, dengan penataan lampu lampion di teras rumah sebagai identitas utama.
Sejarah Gedung Candra Naya
Mengutip laman Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia (Aspertina), bangunan ini awalnya merupakan rumah seorang tuan tanah bernama Khouw Tian Sek.
Tidak diketahui persis kapan bangunan ini pertama dibangun. Namun berdasarkan penandaan yang ada di bangunan yakni Dingmao yang berarti tahun kelinci api pada 1807. Khouw Tian Sek kemudian mewariskan rumah ini kepada salah satu putranya bernama Khouw Kim An, kelahiran Batavia pada 5 Juni 1876.
Sebelumnya, rumah ini dijadikan kantor di bagian ruang depan, dan rumah tinggal di sisi belakang.
Dikenal sebagai Rumah Mayor
Dahulu, rumah ini tenar dengan sebutan rumah mayor. Ini karena terkenalnya Khouw Kim An yang ketika itu dipercaya sebagai letnan Tionghoa (Lutenant der Chineezen) tahun 1905, kemudian kapitan tiga tahun kemudian dan mayor besar pada 1910.
Karena namanya yang tenar sebagai mayor Tionghoa, maka di tahun 1934 ketika dirinya menempati rumah ini, masyarakat di Batavia menyebut bangunan ini sebagai rumah mayor.
Karena tugasnya yang menyangkut kepentingan rakyat Tionghoa dan bersinggungan dengan warga pribumi serta bangsa kolonial, nama Khow Kim An cepat dikenal sebagai pemimpin orang-orang Tionghoa.
Sempat Jadi Kantor Pusat Perkumpulan Orang Tionghoa
Saat masa penjajahan Jepang, bangunan ini sempat digunakan sebagai pusat perkumpulan orang-orang Tionghoa. Banyak kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan di bangunan bersejarah ini.
Sayangnya, penjajahan Jepang membuat kebijakan yang membuat mayor Khow Kim An ditangkap dan diasingkan ke Cimahi.
Ia kemudian meninggal dunia di pengasingannya di Cimahi pada 13 Februari 1945.
Ada Lorong Besar
Di bagian belakang bangunan terdapat lorong besar yang menjadi penengah antara gedung Candra Naya depan dan belakang.
Lorong itu kondisinya sudah diatata dengan dipasang batu alam, sebahai keramiknya. Berjalan di sini, bisa menikmati keindahan gedung tersebut dengan maksimal dari arah dekat.
Adapun bangunan Candra Naya terdiri atas ruang umum untuk menerima tamu dan sebagai kantor dari Khouw Kim An Lalu ada ruang formal untuk rekan-rekan dekat, dengan pemisah dinding bertuliskan Tianjing 天井. Lalu ada juga ruang pribadi dengan dua lantai kamar, serta bangunan belakang. Ada juga ruang untuk para pegawai dan pelayan yang bekerja di gedung tersebut saat masih difungsikan. Terakhir, terdapat juga kolam ikan dan juga halaman utama sisi depan pada bagian belakang bangunan dengan gazebo.
Alasan Tetap Dipertahankan
Sementara itu, bangunan ini sebelumnya sempat ini dihancurkan dan diganti duplikasinya di wilayah Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Namun pembongkaran dirasa tidak tepat, sehingga mendapat penolakan.
Alasan penolakan ini lantaran identitas kesejarahannya akan hilang, jika seluruh unsur bangunan dibongkar. Walau siap dibangun gantinya dengan desain serupa, namun masyarakat terkait khawatir jika nilai leluhurnya akan hilang bersama bangunan.
Sampai sekarang pemerintah masih menjaga bangunan ini dan dirawat sebagai salah satu bangunan cagar budaya yang ada di Kota Jakarta Barat.