LPSK lindungi 12 saksi korban kasus Dimas Kanjeng
LPSK lindungi 12 saksi korban kasus Dimas Kanjeng. LPSK mengimbau para korban penipuan yang dilakukan pimpinan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi segera melapor kepada polisi. Saksi atau korban yang mengetahui aksi penipuan Taat Pribadi tidak perlu takut adanya ancaman atau teror fisik dari pengikut Taat Pribadi.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengimbau para korban penipuan yang dilakukan pimpinan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi segera melapor kepada polisi. Saksi atau korban yang mengetahui aksi penipuan Taat Pribadi tidak perlu takut adanya ancaman atau teror fisik dari pengikut Taat Pribadi.
"LPSK siap melindungi saksi dan korban Taat Pribadi sesuai amanat Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban. Jumlah saksi yang dilindungi kemungkinan bertambah karena korban penipuan Taat Pribadi ini cukup banyak dan tersebar di beberapa daerah," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai saat Konferensi Pers di ruang Media Center Kantor LPSK, Jakarta Timur, Kamis (6/10).
Menurutnya, LPSK tidak segan memberikan perlindungan fisik kepada saksi maupun korban penipuan Taat Pribadi mengingat dugaan tindak pidana yang dilakukannya bersifat sistematis dan terorganisir. Hal itu membuat potensi ancaman terhadap saksi dan korban juga sangat tinggi.
"Taat Pribadi memiliki pengikut yang banyak dan finansial yang cukup signifikan untuk mengintervensi para pengikut yang mencoba melawannya," katanya.
Menurutnya, sejak September 2016, LPSK melindungi 12 orang saksi dalam kasus yang melibatkan Taat Pribadi dan 9 tersangka lainnya, baik pembunuhan, penipuan maupun penggelapan. Kepada semua saksi diberikan perlindungan fisik dan pemenuhan hak prosedural. Tim dari LPSK mendampingi mereka pada setiap tahapan proses peradilan pidana.
Sementara itu, kriminolog Adrianus Meliala yang juga hadir dalam jumpa pers mengatakan, kasus Taat Pribadi ini cukup menarik. Sebab, biasanya yang disebut sebagai korban adalah orang yang tidak mau menjadi korban.
Namun pada kasus Taat Pribadi, menurutnya, justru para korban turut berpartisipasi menjadi korban dan tidak merasa tertipu. Sementara pelaku, dalam hal ini Taat Pribadi berlindung di balik ajaran agama.
Dia mengatakan, Taat Pribadi mencoba menggunakan konsep keimanan sehingga para pengikutnya tidak perlu lagi menanyakan kebenaran perbuatannya.
"Dalam kasus Padepokan Dimas Kanjeng, bisa disebut sebagai kelompok kejahatan karena di dalamnya ada tim pelindung yang menjadi eksekutor untuk menjalankan perintah-perintah Taat Pribadi," tutur Adrianus.
Modus penipuan yang dilakukan Taat Pribadi, kata dia, hampir sama dengan skema ponzi, dimana kelompok yang bergabung lebih dulu didukung oleh kelompok yang masuk setelahnya. Pada saat keinginan kelompok yang paling bawah sudah tidak bisa ditampung, mulai timbul permasalahan.
"Mulai muncul AG (Abdul Gani) yang mempertanyakan haknya kepada Taat Pribadi. Jadi, tidak heran jika baru pada 2016 kasus ini terungkap," ujar dia.
Di tempat yang sama, akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Heru Susetyo menambahkan, modus dengan seolah-olah menjadi tokoh agama seperti kasus Taat Pribadi bukanlah yang pertama dan juga pasti bukan yang terakhir. Modus seperti sudah banyak terjadi dan kemudian timbul korban baik dalam kasus penipuan, perdagangan orang hingga kekerasan seksual.
Dalam kasus seperti ini, menurut Heru, posisi korban sangat rentan. Selain itu, bisa juga dikarenakan korbannya lalai akibat adanya relasi kuasa antara korban dan pelaku.
"Pada kasus Taat Pribadi, banyak tindak pidana yang bisa dikenakan, mulai pembunuhan, penipuan, penggelapan, pemalsuan uang, pencucian uang, hingga penodaan agama," katanya.