Masjid Saka Tunggal, saksi syiar Islam abad ke-11
Melangkahkan kaki ke dalam masjid berukuran 12x18 meter itu, nampak satu tiang kayu dilapisi kaca.
Masjid berpapan nama Baitus Salam dengan warna dominan biru muda di pojok pemukiman warga Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas memang tidak tampak megah.
Melangkahkan kaki ke dalam masjid berukuran 12x18 meter itu, nampak satu tiang kayu dilapisi kaca. Tiang itu serupa tonggak panjang totem dari kebudayaan kuno, warna hijau, putih, kuning, merah berbaur dalam alur motif pahatan, sedang dipucuknya empat sayap terbentang.
-
Apa yang terjadi pada jembatan kaca di Banyumas? Pecahnya wahana jembatan kaca di kawasan wisata Hutan Pinus Limpakuwus pada Rabu (25/10) mengundang perhatian banyak pihak.
-
Siapa yang Ganjar Pranowo temui di Banyumas? Capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo menghadiri silaturahmi bersama Asosiasi Pengusaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (9/1/2024).
-
Siapa yang dilantik sebagai Pj Bupati Banyumas? Pj Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana melantik pejabat Bupati Banyumas, Hanung Cahyo Saputro di Gradhika Bhakti Praja Building, Komplek Kantor Gubernur Jawa Tengah, Jalan Pahlawan No 9 Semarang pada Minggu (24/9) kemarin.
-
Apa yang terjadi di jembatan kaca Wahana Wisata Banyumas? Pecahnya lantai jembatan kaca hingga kini masih dalam penyelidikan polisi Rabu (25/10), sebuah wahana wisata jembatan kaca di kawasan wisata The Geog, Hutan Pinus Limpakuwus, Banyumas, pecah. Insiden pecahnya jembatan kaca itu menyebabkan seorang pengunjung meninggal dunia dan seorang lainnya terluka.
-
Kapan jembatan kaca di Banyumas pecah? Pecahnya wahana jembatan kaca di kawasan wisata Hutan Pinus Limpakuwus pada Rabu (25/10) mengundang perhatian banyak pihak.
-
Di mana banjir terjadi di Semarang? Banjir terjadi di daerah Kaligawe dan sebagian Genuk.
Tiang kayu itu disebut saka tunggal yang kemudian jadi sebutan populer masjid ini. Diyakini, saka tersebut telah berdiri kokoh selama ratusan abad bersamaan waktu era kerajaan Singasari sebelum Majapahit jadi puncak kerajaan Hindu di pedalaman Nusantara.
"Banyak orang memperkirakan dibangun tahun 1288. Di saka memang terpahat angka tersebut dalam tulisan arab," ucap Sulam (47) juru kunci masjid Saka Tunggal, saat ditemui Merdeka.com di kediamannya di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon yang berhadapan persis dengan masjid, Minggu (30/4).
Dari tutur lisan yang disampaikan secara turun temurun, Masjid Saka Tunggal didirikan dua abad sebelum Demak, Kesultanan Islam pertama di Jawa pada awal abad ke-16. Pembangunan masjid tersebut terkait dengan penyebar Islam yang melakukan dakwah di pedalaman desa Cikakak, yakni Mbah Mustolih. Sayang, terkait riwayat asal usul tokoh tersebut, Sulam juga tak mengetahui secara persis.
"Kalau saya menilai, mungkin Mbah Mustolih awalnya melakukan perjalanan ke pedalaman untuk mensyiarkan Islam. Mbah Mustolih lalu menghabiskan hidupnya di desa Cikakak ini yang merupakan lembah. Makam beliau tidak jauh dari sini," ujar Sulam yang merupakan turunan darah juru kunci ke-8 dan pemangku juru kunci ke-12.
Bedug di Masjid Saka Tunggal ©2017 Merdeka.com/Abdul Aziz
Peninggalan kuno, selain saka, dikatakan Sulam yakni bedug, kenthongan dan mimbar khotib. Sedang sekeliling bangunan masjid memang telah direnovasi, dari semula anyaman bambu kini telah dirubah jadi tembok.
Baik Masjid Saka Tunggal atau pun makam Mbah Mustolih, banyak dikunjungi para peziarah terutama pada Sya'ban, bulan kedelapan tahun hijriah atau minggu terakhir sebelum bulan puasa tiba.
Salah satu peziarah, Adnan Basir, Santri Ponpes Benda Al-Hikmah Kabupaten Bumiayu mengatakan jauh-jauh mengunjungi Masjid Saka Tunggal sebab ingin melihat secara langsung peninggalan sejarah syiar Islam berusia ratusan tahun.
Selain itu, ia juga hendak ke makam Mbah Mustolih untuk ber-tawasul. Menurutnya, sudah jadi kebiasaan di tradisi pesantren seorang santri melakukan ziarah untuk memaknai perjalanan spiritual para ulama terdahulu.
"Kalau yang saya tahu, Masjid Saka Tunggal termasuk 7 masjid tertua di Indonesia," kata Adnan, saat ditemui Merdeka.com di lingkungan masjid, Minggu (30/4)
Sementara, selama ratusan tahun pula, di sekeliling masjid Saka Tunggal sampai areal makam Mbah Mustolih berkeliaran bebas puluhan kera. Terkait keberadaan primata ini, dikatakan Sulam ada legenda tersendiri yakni terkait kutukan sekaligus cermin semestinya moral perilaku manusia.
"Keberadaan kera-kera itu ada ceritanya sendiri," kata Sulam yang telah menjadi juru kunci selama 7 tahun ini.
(mdk/hrs)