Kisah di Balik Masjid Jami Al Makmur Cikini, Warisan Raden Saleh yang Pernah Digotong Manual karena Akan Digusur
Kabarnya masjid ini dulu pernah digotong manual agar tidak digusur.
Kabarnya masjid ini dulu pernah digotong manual agar tidak digusur.
Kisah di Balik Masjid Jami Al Makmur Cikini, Warisan Raden Saleh yang Pernah Digotong Manual karena Akan Digusur
Masjid Jami Al Makmur yang berada di Jalan Raden Saleh, Kelurahan Cikini, Kecamatan Menteng, Kota Jakarta Pusat ini memiliki kisah yang unik.
Terlihat jika bangunan memiliki arsitektur kuno peninggalan kolonial Belanda. Masjid ini didapati sudah eksis sejak tahun 1890 dan menjadi salah satu pusat dakwah Islam di Batavia.
-
Apa yang unik dari Masjid Jami'? Masjid Jami’ merupakan masjid tertua di Kota Jayapura. Jika Masjid Baiturrahman berdiri pada tahun 1974, Masjid Jami’ sudah berdiri pada tahun 1943.
-
Kenapa Masjid Jamik direnovasi? Bung Karno yang dahulu sempat mengenyam pendidikan di Insinyur Teknik Sipil dari Technische Hoogeschool (THS) atau dikenal dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), berniat untuk merenovasi masjid tersebut karena sudah tak layak dan juga membahayakan jemaah.
-
Apa ciri khas arsitektur Masjid Jamik? Bung Karno tidak melakukan banyak perubahan pada bangunan masjid, hanya menegaskan paduan nuansa Jawa dan Sumatra. Ia hanya mengubah bagian atap, tiang, dan menaikkan lantai masjid hingga 30 cm sekaligus dindingnya yang ditinggikan 2 meter.
-
Siapa yang mendirikan Masjid Jami'? Saat itu sejumlah buruh di Hollandia, nama Jayapura saat itu, adalah para pencetus berdirinya Masjid Jami ketika Belanda masih berkuasa.
-
Bagaimana perkembangan Masjid Jami'? Seiring waktu, tentara-tentara dari Pakistan dan India itu ditarik kembali ke negara masing-masing. Selain itu, para buruh pelabuhan yang merupakan jemaah tetap masjid mulai geser lokasi kerja ke kawasan Abe Pantai.
-
Apa ciri khas Masjid Jamik Taluak? Bangunan ini terdiri dari tiga bangunan pokok, yaitu bangunan masjid itu sendiri, Mihrab, dan juga menara. Pada bagian atap, terdiri dari tiga bahan seng, sementara bagian Mihrabnya berbentuk kubah.
Dahulu, masjid warisan pelukis terkenal Indonesia Raden Saleh ini pernah digotong secara manual saat hendak digusur.
Saat ini bangunan masjid masih berdiri kokoh, dengan mempertahankan corak khas abad ke-19.
Lokasi ini juga menjadi spot wisata religi sekaligus sejarah, serta cocok dijadikan tempat ngabuburit di bulan ramadan seperti sekarang.
Yuk simak cerita unik di balik berdirinya Masjid Jami Al Makmur Cikini yang legendaris di pusat Kota Jakarta itu.
Foto: YouTube White Dome
Berawal dari Tanah Warisan Maestro Lukis Raden Saleh
Sejarah berdirinya Masjid Jami Al Makmur dimulai ketika mestro lukis kenamaan Indonesia Raden Saleh, mewakafkan tanah milik pribadinya.
Ketika itu sebelum tahun 1890, Raden Saleh baru saja pulang dari Belanda. Ia kemudian menemukan jodohnya di Bogor dan memutuskan untuk menetap di kawasan Menteng Jakarta.
Mengutip laman majalah digital Jakita Pemprov Jakarta, Raden Saleh terpikir untuk menetap di Jakarta yang kala itu bernama Batavia. Ia kemudian membeli sebidang tanah dan mewakafkannya untuk dibangun musala kecil.
Berawal dari Musala Sederhana
Dalam laman dunia masjid Islamic center disebutkan bahwa musala ini sangat kecil dan sederhana.
Saking tradisionalnya, dinding musala terbuat dari anyaman bambu serta kayu.
Lambat laun tanah wakafnya itu dijual Raden Saleh kepada keluarga Alatas, yang merupakan
pengusaha kaya keturunan Arab Saudi. Tanah ini kemudian diwariskan kembali kepada putranya yang bernama Ismail Alatas.
Ismail Alatas menjadi sosok yang sempat berpengaruh di masa itu. Saking populernya, jalan di wilayah tersebut dikenal sebagai Alatas Land. Sayangnya, ketika itu sang anak tidak mengetahui bahwa musala di lahan tersebut merupakan warisan dari Raden Saleh dan justru menjualnya.
Sempat Memicu Konflik
Dahulu, lahan beserta musala itu sempat dibeli oleh Koningin Emma Stichting (Yayasan Ratu
Emma).
Yayasan ini bergerak di bidang sosial agama Kristen milik orang Belanda, sekaligus menganalkan ajaran agama Kristen.
Setelah tanah tersebut menjadi milik Koningin Emma Stichting, pihak pengelola merasa keberatan adanya bangunan tempat ibadah di sana. Padahal musala itu berada di luar tanah yang ia beli.
Karena desakan dari pihak yayasan, akhimya musala itu dipindahkan beberapa meter dari tempat asalnya untuk menghindari konflik sosial.
Digotong Secara Manual Karena Akan Digusur
Setelah muncul kesepakatan, musala akhirnya dipindahkan oleh warga dengan cara digotong secara manual.
Terdapat banyak orang yang ikut memanggul bangunan musala secara tradisional. Musala pun berhasil dipindahkan dari lahan tersebut.
Namun setelah pemindahan berlangsung, rasa tidak puas masih dirasakan yayasan Emma Sticting.
Pihak Emma mengaku masih ingin memindahkan musala tersebut ke tanah yang lebih jauh ini. Namun keinginannya itu lantas mendapat penolakan dari warga.
Hal ini mendapat respon dari tokoh-tokoh Islam kenamaan seperti H.O.S. Cokroaminoto (Ketua Sarekat Islam), Haji Agus Salim dan Abikusno Cokrosuyoso. Kuatnya persatuan ini, membuat mereka dan umat Islam di sana pasang badan.
Mendapat kabar akan adanya penggusuran susulan, mereka pun menyiapkan senjata tajam.
Ini digunakan untuk mengusir Belanda yang berniat jahat untuk memindahkan bangunan musala. Kejadian ini berlangsung sampai pertengahan tahun 1930.
Dibangun Menjadi Sebuah Masjid
Pada 1932, musala berbahan dinding anyaman bambu dan kayu itu kemudian direnovasi.
Pembangunan juga dikomandoi oleh Cokroaminoto (Ketua Sarekat Islam), Haji Agus Salim dan
Abikusno Cokrosuyoso yang tidak ingin masjid ini kembali digusur.
Ketika itu desainnya menggunakan gaya Indische yang populer dan melambangkan bangunan modern. Fasadnya dibuat melengkung setengah lingkaran. Lalu dindingnya disusun dari tumpukan batu sungai berwarna hitam. Bagian dalamnya dibuat layaknya kastil Eropa, dengan
banyak pilar.