Membedah Aturan KUHP Tindak Pidana Terorisme dan Perlunya Kehati-hatian dalam Penanganan Pelaku
Salah satu praktik yang masih ditemui saat ini adalah terorisme yang berbasis ideologi agama dan kekerasan.
Kejahatan terhadap ideologi negara kini telah memiliki aturan setelah UU Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP. Salah satu praktik yang masih ditemui saat ini adalah terorisme yang berbasis ideologi agama dan kekerasan.
Hadirnya aturan kejahatan terhadap ideologi negara dirasa memerlukan penjelasan lebih jauh dalam singgungannya dengan terorisme.
- Masyarakat Diingatkan Perkuat Empat Bingkai Kerukunan Agar Tak Mudah Dipecah Belah
- Eks Pentolan Jemaah Islamiyah Bicara Merawat Kebhinekaan & Jaga NKRI dari Terorisme
- Waspadai Dalil Sesat Kelompok Teror, Tak Ada Agama Ajarkan Kekerasan
- 21 Agustus Hari Peringatan dan Penghargaan Korban Terorisme, Berikut Sejarahnya
Ketua Program Kajian Terorisme, Muhamad Syauqillah, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia menilai bahwa tindak pidana terhadap ideologi negara yang diatur dalam KUHP Pasal 188, 189, dan 190 perlu pengaturan lebih lanjut dalam konteks tindak pidana terorisme.
Dijelaskan bahwa banyak pelaku tindak pidana terorisme dimotivasi oleh ideologi tertentu yang jelas bertentangan dengan Pancasila.
"Kejelasan dan rencana implementasi KUHP ini penting karena sebagai pengkaji terorisme, KUHP yang akan diberlakukan pada 2026 khususnya pasal 188, 189, dan 190 dengan tegas mengatur pidana Ideologi yang bertentangan atau bahkan meniadakan Pancasila. Kalau di UU No.5 Tahun 2018 tentang perilakunya. Nah KUHP ini mau bagaimana diimplementasikan" ucapnya, Rabu (9/10).
Apa yang disampaikan Syauqi, sejalan dengan pernyataan Penyidik Densus 88 yang menyebut kebanyakan tersangka kita adalah karena problem ideologi.
Dalam diskusi kelompok terpimpin di Kajian Terorisme, SKSG UI, Wakil Direktur SKSG, Prof. Dr. Eva Achjani Zulfa, SH., MH mengatakan kebebasan individu untuk menganut ideologi ajaran tertentu dilindungi HAM namun sekaligus dibatasi dengan aturan tidak merugikan orang lain. Untuk itu menurutnya penanganan pidana ideologi harus hati-hati.
"Ketika tindak pidana ini negara terlalu over reaktif atau over kriminal. Maka bukan bikin takut malah bikin lancar. Perlu juga dicermati soal pengkhianatan, penghasutan, mengancam ketertiban umum," ujarnya.
Eva menjelaskan tidak mudahnya mempidanakan ideologi dengan mengambil contoh hukuman mati Imam Samudra yang justru menginspirasi jaringannya.
Selain itu dijelaskan juga tentang Socrates yang dihukum mati karena ideologinya tapi pikirannya masih dipakai sampai sekarang, demikian juga Copernicus yang dihukum mati karena teori heliosentrisnya tapi teori tersebut terus dipakai.
"Ada yang perlu dicermati juga jika pasal 188-190 ini diterapkan sebagai ordinary crime sementara terorisme extraordinary crime maka bagaimana denan lapas super maximum security?" ucapnya.
Senada dengan Eva, Ketua Program Doktor SKSG UI, Dr. Margaretha Hanita, SH., M.Si kembali mengungkapkan disertasi yang pernah disusunnya tentang makar organisasi terkait Papua Merdeka.
Dia mengatakan pada level tertentu seseorang yang dipidana dengan kejahatan makar justru meningkatkan keterkenalan dan pengaruh dikelompoknya.
"Kita perlu cermat (menempatkan) mana makar mana terorisme," ucapnya.
Dalam bagian penjelasan UU Nomor 1 Tahun 2023, sebenarnya pasal 188, 189, dan 190 telah ada. Namun dalam diskusi kelompok terpumpun yang diselenggarakan SKSG UI terlihat masih perlunya penjelasan lebih detail.
Penjelasan mengenai pembuktian unsur delik, hingga lembaga yang memiliki kewenangan sebagai penginterpretasi Pancasila sangat diperlukan.
Dalam kesempatan penjelasannya, Ishlah Bahrawi, Jaringan Moderat Indonesia, mengatakan bahwa seringkali sebuah negara lengah memantau ideologi yang bisa jadi sumber terorisme. Menyebut Baader Mainhof sebagai contoh yang terjadi di Jerman dengan sistem demokrasinya, Ishlah menyampaikan perlunya hati-hati terhadap ideologi semacam wahabi-salafi di Indonesia.
"Wahabi-salafi adalah embrio terorisme. Ini berasal dari pengalaman dialog langsung dengan mantan napiter yang menantang saya dialog karena protes atas pernyataan saya. Terhadap kelompok yang taqiyah inilah kita perlu menerapkan 188, 189, dan 190," ujarnya.
Dalam pandangannya universalisme Pancasila perlu dijaga. Namun bukan berarti negara dapat abai terhadap ideologi-ideologi yang bisa menjadi akar terorisme di Indonesia. "Gerakan kiri jauh dan kanan jauh saat ini bertemu di Jerman dan sedang menjadi perhatian negara. Termasuk di dalamnya cyber terrorism, ini perlu dilakukan Indonesia juga" ujarnya.