Membuka Tabir Polemik Transaksi Mencurigakan Rp349 Triliun di Kemenkeu
Satu per satu anak buah Sri Mulyani itu dipanggil KPK. Mereka diminta menjelaskan soal kehidupannya yang tajir melintir. Apalagi, kemewahan itu juga diperlihatkan istri hingga anak mereka.
Kasus mantan Kepala Bagian Umum di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta II, Rafael Alun Trisambodo seakan menguak bobrok yang ada di tubuh Kementerian Keuangan.
Meski hanya seorang pegawai Eselon III di Ditjen Pajak, kekayaan Rafael begitu fantastis. Mengacu LHKPN yang dilaporkan ke KPK, ayah Mario Dandy itu memiliki harta Rp56,7 miliar. Cukup fantastis.
-
Kapan Alun-alun Puspa Wangi Indramayu diresmikan? Sebelumnya alun-alun ini diresmikan pada Jumat (9/2) lalu, setelah direnovasi sejak 19 Mei 2021.
-
Kenapa Prabowo Subianto dan Jenderal Dudung menggandeng tangan Jenderal Tri Sutrisno? Momen ini terjadi ketika ketiga jenderal tersebut sedang berjalan masuk ke dalam sebuah ruangan atau tempat digelarnya gala dinner seusai mengikuti rangkaian parade senja atau penurunan upacara bendera merah putih.
-
Apa yang dilakukan Menhan Prabowo Subianto bersama Kasau Marsekal Fadjar Prasetyo? Prabowo duduk di kursi belakang pesawat F-16. Pilot membawanya terbang pada ketinggian 10.000 kaki.
-
Kapan Anang Hermansyah dan Krisdayanti akan bertarung di Pemilu? Krisdayanti diketahui akan kembali bertarung untuk merebut kursi parlemen dalam Pemilu 2024 melalui Dapil Jawa Timur V. Sementara itu, Anang Hermansyah akan berjuang untuk mendapatkan suara di Dapil V Kabupaten Bogor.
-
Kapan R.A.A Kusumadiningrat memimpin? Sebelumnya, R.A.A Kusumadiningrat sempat memerintah pada 1839-1886, dan memiliki jasa besar karena mampu membangun peradaban Galuh yang cukup luas.
-
Kapan Alimin bin Prawirodirjo lahir? Lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada tahun 1889, pria yang kerap disapa Alimin ini terlahir dari kalangan keluarga miskin.
Harta tak wajar Rafael langsung disikapi Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). Temuan PPATK lebih mengejutkan. Ditemukan transksi mencurigakan pada rekening Rafael nilainya mencapai Rp500 miliar. PPATK kian curiga. Rafael diduga melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Terbongkarnya kehidupan wah seorang Rafael rupanya menyeret pegawai Kemenkeu lainnya. Kepala Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto, Kepala Bea Cukai Makassar, Andhi Pramono, dan Kepala Kantor Pajak Madya Jakarta Timur, Wahono Saputro ikut disorot karena hartanya yang dianggap tak wajar.
Satu per satu anak buah Sri Mulyani itu dipanggil KPK. Mereka diminta menjelaskan soal kehidupannya yang tajir melintir. Apalagi, kemewahan itu juga diperlihatkan istri hingga anak mereka.
Belum lagi asal muasal harta tak wajar pegawai Kemenkeu itu terungkap. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud Md tiba-tiba saja menyebut baru saja mengantongi data dari PPATK soal transaksi janggal pegawai Kementerian Keuangan. Nilainya bikin bengong, mencapai Rp300 triliun dalam kurun waktu tahun 2009 hingga 2023.
Menurutnya, transaksi janggal itu bukan berkaitan dengan korupsi. Melainkan, dugaan tindak pidana pencucian uang.
"Yang kami laporkan adalah hasil analisa tentang dugaan TPPU, berkali-kali saya sampaikan itu, bukan laporan korupsi," katanya dalam jumpa pers di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Senin (20/3).
Laporan itu bahkan sudah dia teliti. Hasil penelitian mengungkap, nilai transaksi mencurigakan lebih besar dari yang dia terima sebelumnya. Data terbaru, mencapai Rp349 triliun.
Mahfud menambahkan, masyarakat harus tahu bahwa TPPU sering kali nilainya lebih besar dari korupsi. Hal itu terjadi karena uang yang sama berputar sepuluh kali tetapi yang dihitung hanya dua atau tiga kali.
Mahfud mencontohkan bentuk-bentuk dugaan pencucian uang yang umum terjadi saat ini. Seperti kepemilikan saham di sebuah perusahaan, membentuk perusahaan cangkang, menggunakan rekening atas nama orang lain, sampai kepemilikan aset atas nama orang lain.
Melalui penjelasannya itu, Mahfud ingin menekankan bahwa dugaan TPPU senilai Rp349 triliun bukanlah temuan korupsi di Kementerian Keuangan. Karena TPPU, katanya, lebih berbahaya dari korupsi.
Data yang disampaikan Mahfud disikapi serius oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dia kemudian meluruskan narasi transaksi mencurigakan di institusinya sebesar Rp349 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan. Jauh sebelum data itu diungkap Mahfud ke publik, Kepala PPATK pernah mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan pada tanggal 7 Maret 2023. Isinya surat-surat PPATK kepada Kementerian Keuangan dan Inspektorat Jenderal dari periode 2009-2023 yang totalnya mencapai 196 surat.
"Surat ini tanpa ada nilai transaksi, jadi dalam hal ini hanya berisi nomor surat, tanggal, surat nama-nama orang yang ditulis oleh PPATK," ujar Sri Mulyani di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta, Senin (20/3).
Setelah itu, muncul statement dari Mahfud soal surat PPATK mengenai transaksi mencurigakan senilai Rp300 triliun. Soal itu, Sri Mulyani mengaku belum menerima kiriman surat dari PPATK.
Hingga kemudian, Kepala PPATK baru mengirimkan surat tersebut pada tanggal 13 Maret. Dalam surat tersebut ada 46 lampirannya berisi rekapitulasi data hasil analisa, serta hasil pemeriksaan dan informasi transaksi keuangan, yang berkaitan dengan tugas dan fungsi untuk kementerian keuangan sejak periode 2009-2023. Isi lampirannya 300 surat dengan nilai transaksi Rp349 triliun.
Dari 300 surat PPATK, terdapat 65 surat yang berisi transaksi keuangan dari perusahaan, atau badan, atau perseorangan, yang tidak ada di dalamnya orang kementerian keuangan.
"Jadi ini transaksi ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan atau badan atau orang lain. Namun karena menyangkut tugas dan fungsi kementerian keuangan terutama menyangkut ekspor impor maka kemudian dikirimkan oleh PPATK kepada kami," jelas Sri Mulyani.
Dia melanjutkan, dari 65 surat itu nilainya Rp253 triliun. PPATK, kata dia, menengarai adanya transaksi di dalam perekonomian baik itu mencakup perdagangan, pergantian properti yang ditengarai ada mencurigakan.
Selanjutnya, ada juga 99 surat yang masih menjadi bagian dari 300 surat PPATK, dikirim kepada aparat penegak hukum, dengan nilai transaksinya Rp74 triliun.
"Sedangkan ada 135 Surat dari PPATK tadi yang menyangkut ada nama pegawai Kementerian Keuangan nilainya jauh lebih kecil," ucap Sri.
Dari ratusan surat yang dikirim PPATK, ada satu surat yang sangat menonjol yang dikirimkan pada 19 Mei 2020 yang menyebutkan transaksi sebesar Rp189,273 triliun. Melihat angka yang cukup besar. dia pastikan Kemenkeu langsung melakukan penyelidikan.
Berdasarkan hasil penelusuran PPATK yang tertuang dalam surat "menonjol" tersebut, ada 15 individu dan entitas yang tersangkut dalam transaksi Rp189,273 triliun selama periode 2017-2019. Transaksi tersebut berkaitan dengan ekspor impor.
Oleh karena itu, Ditjen Bea Cukai yang menerima surat langsung dari PPATK melakukan penelitian terhadap 15 entitas tersebut. Mereka adalah yang melakukan ekspor, impor emas batangan dan emas perhiasan dan juga kegiatan money changer dan kegiatan lainnya.
Dari pemeriksaan tersebut tidak ditemukan di Ditjen Bea Cukai. Maka, pemeriksaan dipindah ke Ditjen Pajak. "Pada saat yang sama PPATK mengirim surat kepada Ditjen Pajak nomor 595 di dalam surat ini transaksinya lebih besar lagi Rp25 triliun, dan jumlah entitasnya dari 15 menjadi 17 entitas," ucapnya.
Sementara, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menjelaskan asal usul Rp349 triliun transaksi mencurigakan yang dilaporkan ke Kementerian Keuangan. Dugaan kuat, uang Rp349 triliun itu merupakan hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Namun demikian, Ivan memastikan Rp349 triliun tersebut bukanlah tindak pidana yang terjadi di Kementerian Keuangan. Hanya sekadar laporan yang disampaikan kepada Kementerian Keuangan agar kemudian dilakukan penyidikan. Karena tindak pidana pencucian uang tersebut berkaitan dengan kasus impor ekspor sampai perpajakan.
"Itu kebanyakan terkait dengan kasus impor-ekspor, kasus perpajakan, di dalam satu kasus saja kalau kita bicara ekspor-impor itu bisa lebih dari Rp100 triliun, lebih dari Rp40 triliun, itu bisa melibatkan," ujar Ivan saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/3).
Ivan menjabar laporan hasil analisis (LHA) terkait pihak yang diduga 'bermain'. Pertama terkait oknum. Kedua, terkait oknum dan institusinya yang umumnya berkaitan dengan kasus ekspor impor dan perpajakan. Ketiga, PPATK tidak menemukan oknumnya tetapi temuan dari tindak pidana asal. Tindak pidana asal itu berkaitan dengan ekspor impor dan pajak.
"Jadi sama sekali tidak bisa diterjemahkan kejadian tindak pidananya itu ke Kementerian Keuangan, ini jauh berbeda. Jadi kalimat di Kementerian Keuangan itu juga kalimat yang salah, itu yang menjadi tugas pokok dan fungsi Kementerian Keuangan," ujarnya.
Polemik transaksi mencurigakan membuat Komisi III DPR RI buka suara hingga akhirnya memanggil Kepala PPATK dan Menko Polhukam Mahfud Md. Rapat dengan Mahfud dijadwalkan pada Jumat (24/3) nanti.
Komisi III DPR bersama PPATK mendalami data yang disampaikan Menko Mahfud MD soal adanya transaksi mencurigakan senilai Rp300 triliun di Kementerian Keuangan. Meskipun salah satu anggota sempat heran. Bagaimana mungkin data bersifat rahasia itu bisa diungkap ke publik.
Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan menyebut, seorang pejabat negara berkewajiban merahasiakan dokumen terkait tindak pidana pencucian uang (TPPU). Jika melanggar, maka mengacu Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, bisa diancam pidana paling lama 4 tahun penjara.
"Setiap orang, itu termasuk juga menteri, termasuk juga menko (menteri koordinator) ya, yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya, menurut UU ini wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut," ucap Arteria Dahlan saat bersama PPATK kemarin.
Adapun isi dari Pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut UU 8 tahun 2010 wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut.
Dalam Pasal 11 ayat (2), tercantum bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Kepada Ketua PPATK Ivan Yustiavandana yang hadir, Arteria coba memastikan apakah dokumen yang disampaikan Mahfud itu karena dibocorkan olehnya.
"Bagiannya yang ngebocorin berarti bukan Pak Ivan (Kepala PPATK) ya? Yang memberitakan macem-macem itu bukan dari mulutnya Pak Ivan? Bukan" ucap Arteria.
"Bukan," jawab Ivan.
Hingga kini, soal transaksi mencurigakan Rp349 triliun yang diduga berasal dari TPPU masih didalami. Termasuk siapa pihak yang terlibat di dalamnya.
(mdk/lia)