Memecah Persatuan Bangsa, Setop Penggiringan Politik SARA Lewat Mimbar Agama
Menjadikan masjid sebagai media penggiringan dukungan politik dalam bentuk apapun tidak bisa dibiarkan. Sebab akan menimbulkan disintegrasi sosial.
Politik identitas harus dihindari setiap pesta demokrasi. Apalagi menjadikan mimbar agama sebagai media penggiringan untuk politik Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA).
"Ini penting agar mimbar agama tidak dijadikan pemenuhan syahwat politik kekuasaan," kata Akademi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Syahrullah Iskandar dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Sabtu (25/2).
-
Apa itu SARA? SARA adalah singkatan dari suku, agama, ras, dan antargolongan, yang merujuk pada faktor-faktor identitas yang sering kali menjadi penyebab konflik horizontal dan vertikal dalam masyarakat.
-
Bagaimana SARA bisa diatasi? Tindakan preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah konflik SARA adalah dengan memberikan edukasi yang baik mengenai keberagaman suku, budaya, dan agama di Indonesia.
-
Apa kepanjangan dari SARA dalam konteks sosial di Indonesia? Kepanjangan Sara dan Penjelasannya Mengutip Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada oleh Heru Nugroho, kepanjangan SARA merupakan akronim dari Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
-
Bagaimana Jaka Sembung melawan Ki Hitam? Akhirnya Jaka Sembung teringat pesan gurunya, Ki Sapu Angin yang menyebut jika ilmu rawa rontek bisa rontok saat pemiliknya tewas dan tidak menyentuh tanah. Di film itu, Jaka Sembung kemudian menebaskan parang ke tubuh Ki Hitam hingga terpisah, dan menusuknya agar tidak terjatuh ke tanah.
-
Siapa Kyra Wahab? Ariyo Wahab jadi sorotan netizen gara-gara anak sulungnya, Kyra Wahab, yang cantik banget dan udah tambah dewasa.
-
Kapan promo KURMA berakhir? Nasabah dapat memanfaatkan promo ini hingga 30 April untuk 1.500 nasabah pertama.
Syahrullah menilai menjadikan masjid sebagai media penggiringan dukungan politik dalam bentuk apapun tidak bisa dibiarkan. Sebab akan menimbulkan disintegrasi sosial.
Menurut dia, biarkan rumah ibadah digunakan sesuai fungsinya yaitu sebagai perekat masyarakat. Argumentasi pembenaran menggunakan mimbar masjid sebagai sarana penggiringan politik sebagaimana fungsi masjid di masa Rasulullah SAW adalah benar.
"Namun, situasi sosial kekinian cukup berbeda, mimbar agama sering kali dijadikan sarana politik hanya untuk kepentingan kekuasaan dan kepentingan duniawi," ujar Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta ini.
Syahrullah mengatakan, ibadah yang dilakukan umat berorientasi untuk akhirat. Oleh sebab isi khutbah harus mengingatkan dan memotivasi untuk kebaikan, bukan menciptakan perselisihan dan ketidaknyamanan.
Konflik Berbasis SARA
Pengasuh Pesantren Pascatahfizh Bayt al-Qur’an–PSQ Jakarta itu menjelaskan, sejatinya politik yang mengedepankan identitas masing-masing dan menjadikannya sebagai acuan dalam kontestasi politik adalah hal yang wajar.
"Tetapi jika lebih pada menjadikan identitas kesukuan, ras, agama, dan semacamnya sebagai acuan dasar dalam pilihan politik, maka politik identitas itu berpotensi mempolarisasi masyarakat," kata dia.
Dia menilai hal negatif yang bisa ditimbulkan adalah potensi konflik berbasis SARA, yang ujungnya bisa membuat masyarakat terpolarisasi berdasarkan identitas tersebut yang dapat bermuara pada disintegrasi sosial.
Syahrullah juga menjawab tudingan sekulerisme yang dilancarkan kelompok yang kontra terhadap isu penolakan politik identitas pada konstestasi Pemilu 2024. Menurut dia, tidak ada pemisahan agama dari persoalan politik, karena berpolitik juga harus mengedepankan moralitas dan visi kebersamaan dan persatuan.
"Jika mau tegas, politik identitaslah yang justru menjauhkan nilai kebersamaan dan persatuan dalam konteks bernegara," kata dia.
Wakil Sekjen Pengurus Besar Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI) itu menilai berpolitik adalah bagian dari bernegara itu sendiri, dan agama selalu ada di dalamnya tetapi tidak harus dalam bentuk formalnya.
Menurut dia, semua berupaya untuk meraih kemenangan, namun harus tetap dalam koridor taat aturan bersama, dan di konteks masyarakat yang majemuk, proses politik adalah sebuah keniscayaan.
"Berpolitik itu sarana untuk meraih kemaslahatan bangsa dan negara. Karena tujuannya mulia, maka cara yang digunakan pun harus baik," kata Syahrullah.
Dia menekankan, untuk menghindari rumah ibadah dijadikan panggung politik, diperlukan sosialisasi yang intens kepada pengurus rumah ibadah, dan para penceramah juga harus lebih memprioritaskan pada kemaslahatan umat.
"Pengurus rumah ibadah, harus selektif dan mengingatkan kepada penceramah, narasumber yang bertugas agar menghindari uraian atau paparan yang menggiring pada pilihan politik tertentu, baik secara lugas maupun terselubung," ujar dia.
Selain itu, Syahrullah menilai perlu pelibatan tokoh agama, tokoh masyarakat dan segenap ormas kemasyarakatan untuk menciptakan suasana yang kondusif. Menurut dia, masyarakat harus diberikan edukasi tentang peran sosial masing-masing dalam kontestasi Pemilu 2024.
(mdk/gil)