Mengurai Penyebab Maraknya Aksi Pembullyan Bocah di Bawah Umur Kian Sadis
Terlebih bukan lagi cuma bully secara verbal, namun sudah mengarah ke tindakan kriminal.
Pembullyan kini berubah arah ke tindak kriminal
Mengurai Penyebab Maraknya Aksi Pembullyan Bocah di Bawah Umur Kian Sadis
Belakangan ini kasus pembullyan sesama anak yang masih di bawah umur semakin sadis. Terlebih bukan lagi cuma bully secara verbal, namun sudah mengarah ke tindakan kriminal.
Yakni, menendang, memukul bahkan memiting leher.
Melihat fenomena tersebut, Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati menyebut itu adalah salah satu faktor jika anak-anak tidak mendapatkan pengakuan dan perhatian ketika sedang di fase pencarian jati diri.
- Mensos Risma ke Siswa: Perangi Kebodohan, Bukan Bully Teman
- Kasus Bully Siswa SD di Jombang, Pelaku Pelemparan Kayu Dijerat Pasal Penganiayaan
- Perundungan Kian Mengerikan, Ini Deratan Kekerasan Libatkan Pelajar yang Bikin Geger
- Tak Beri Ampun, Jenderal Dudung Minta Prajurit TNI Penculik dan Pembunuh Pemuda Aceh Dijerat Dua Pidana Sekaligus
"Jalanan menjadi ruang bagi anak-anak tersebut yang tak mendapatkan pengakuan dan perhatian, mereka mengeluarkan energi mereka di situ. Mereka unjuk gigi di situ, ketika mereka semakin sadis otomatis mereka mendapatkan pengakuan itu tadi,"
kata Devie saat berbincang dengan Merdeka.com (2/10).
merdeka.com
Faktor berikutnya, Devi mengatakan, ketika anak melakukan tindak bullying hingga berujung kekerasan, disebabkan mudahnya arus informasi yang diterima publik saat ini.
Keviralan anak-anak itu dengan mudah menyebar.
"Pertama, selama ada anak dan remaja sebagai anak kandung zaman, maka potensi antara mereka akan terus terjadi, jadi bukan hanya di era sekarang keliatannya brutal lalu di masa lalu tidak. Hanya saja di masa sekarang dengan hadirnya media sosial maka informasi yang jauh sekalipun bisa dengan mudah menyebar dimana-mana," kata Devie.
Faktor ketiga, anak-anak yang melakukan tindak kekerasan adalah mereka sebagai individu manusia yang menurut para pakar pertumbuhan emosinya lebih besar daripada rasio berpikir jernih.
Menurut Devie, rasio untuk berpikir jernih seseorang baru optimal di usia 24 tahun, tak heran kemudian jika anak-anak bahkan remaja menghadapi dinamika persoalan menggunakan emosinya sendiri, yang kemudian menjadi 'sopir' diri mereka.
Devie menilai, faktor terakhir yang mendorong anak-anak berbuat tindak keji merupakan pengaruh dari tontonan. Ia menyebut, apa yang ditonton anak membentuk suatu perilaku agresif anak-anak.
"Tontonan anak-anak zaman sekarang, paling isinya kekerasan semua di handphonenya, kalau enggak kekerasan, judi online, pornografi. Ya akhirnya anak, menjadikan kekerasan sebagai rujukan untuk menyelesaikan masalahnya. Ingat, otak anak itu baru optimal ketika berumur 24, sedangkan kontennya begitu semua," jelas Devie.
Di samping itu, Devie menegaskan, sistem pendidikan Indonesia saat 30-40 tahun lalu juga berpengaruh terhadap anak-anak di zaman ini, sebab dahulu mereka tidak disediakan fasilitas untuk menunjukkan pengakuan dan perhatiannya.
"Pendidikan itu enggak bisa jangka pendek, hari ini. Mohon maaf, ini akibat desain pembangunan pendidikan pada saat rezim orde baru tahun 1980-an yang super salah, itu yang kita nikmati hari ini,"
ujar Devie.
merdeka.com
Menurutnya, apa yang telah dimulai Presiden Joko Widodo hari ini dengan adanya Merdeka Belajar di seluruh lini pendidikan, jika program tersebut diteruskan, Devie menyebut dampaknya baru akan terasa paling cepat 30-40 tahun kedepan.
"Nah, apa yang dimulai Pak Jokowi hari ini dengan adanya Merdeka Belajar, kalau ini diteruskan dampaknya baru akan terasa paling cepet 30-40 tahun kedepan. Karena namanya pendidikan itu jangka panjang, bukan solusi jangka pendek. Betul ini desain pendidikan yang super salah, kalau berkaca pada negara-negara maju yang telah mendesain pendidikannya 40 tahun lalu. Sebenernya, Merdeka Belajar kan penerapan dari program pendidikan negara maju,"
kata Nahar.
Merujuk pada banyaknya kasus pembullyan, Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI tengah mengupayakan perlindungan bagi korban dan penegakan hukum bagi pelaku, pihaknya memiliki tiga strategi diantaranya: strategi pencegahan, mekanisme penanganan, dan penguatan kelembagaan.
"Upaya KPPPA tentu merujuk pada tugas dan kewenangan PPPA. Khusus untuk mencegah kasus-kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah, kita lakukan tiga strategi. Strategi pertama itu pencegahan, mekanisme penanganan, dan penguatan kelembagaan," jelas Nahar saat dihubungi (2/10).