Menkes Pastikan Survei Status Gizi untuk Stunting Diperbarui Tiap Tahun
Budi menuturkan sebelumnya SSGI disusun setiap tiga tahun sekali.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memastikan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) untuk penanganan stunting terus diperbarui setiap tahun secara rutin.
“Kami lakukan ini tahunan. Jadi 2021, 2022, 2023, dan 2024 kami lakukan tahunan (secara rutin),” kata Menkes Budi dalam Sosialisasi Kebijakan Intervensi Percepatan Penurunan Stunting tahun 2023 yang diikuti secara daring di Jakarta dilansir Antara, Jumat (3/2).
-
Mengapa Stupa Sumberawan penting? Stupa melambangkan nirbana (kebebasan) yang merupakan dasar utama dari seluruh rasa dharma yang diajarkan Guru Agung Buddha Gautama. Nirbana juga menjadi tujuan setiap umat Buddha.
-
Kapan Atang Sendjaja meninggal? Pada 29 Juli di tahun itu menjadi hari duka bagi AURI.
-
Mengapa Pilkada penting? Pilkada memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mengekspresikan aspirasi mereka melalui pemilihan langsung, sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kehendak dan kebutuhan masyarakat setempat.
-
Kapan Adi Suryanto meninggal? Kabar duka datang dari salah satu instansi pemerintah, Lembaga Administrasi Negara (LAN). Kepala LAN, Prof Dr. Adi Suryanto, meninggal dunia di Yogyakarta pada Jumat (15/12).
-
Kapan Putri Gading meninggal? Kerangka ini ditemukan di Sevilla, Spanyol. Kerangka manusia berusia 5.000 tahun ditemukan di Sevilla, Spanyol.
-
Kapan Gege meninggal? Joe atau Juhana Sutisna dari P Project mengalami duka atas meninggalnya putra kesayangannya, Edge Thariq alias Gege, pada pertengahan Mei 2024.
Budi menuturkan sebelumnya SSGI disusun setiap tiga tahun sekali. Namun, kini survei dipercepat menjadi setiap tahun, karena waktu penanganan yang singkat dan disesuaikan dengan permintaan Presiden Joko Widodo yang menargetkan angka prevalensi stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024.
Metode yang digunakan dalam SSGI berupa survei. Metode itu sudah digunakan pada penyusunan SSGI beberapa kali sejak 10 tahun yang lalu.
“Survei ini memang sifatnya survei ya, jadi tidak 100 persen by name by address diukur. Kenapa pakai metode survei, bukan sensus? Karena kita belum mampu untuk melakukan sensus secara rata di seluruh provinsi,” katanya.
Menurut Budi, Indonesia belum mampu untuk menyusun SSGI menggunakan sensus. Hal itu disebabkan oleh persebaran infrastruktur yang tidak memadai dan merata di seluruh provinsi, sehingga dikhawatirkan ketika data dikumpulkan dan dibandingkan terjadi kesulitan.
“Kalau ada perubahan dari metode pengukuran itu akan mengakibatkan tidak konsistennya dari data nanti akan membingungkan masyarakat,” ujarnya.
Saat ini, kata Budi, sudah ada beberapa provinsi dengan infrastruktur yang lebih maju dalam pengukuran stuntingnya, sudah bisa mendata hampir 100 persen secara by name by address. Rencananya, Kemenkes akan berdialog dengan pemerintah daerah terkait untuk menyandingkan data SSGI dan data yang daerah miliki.
“Karena tidak rata masing-masing 514 kabupaten/kota untuk melakukan pengukuran yang by name by address, sementara kami pakai survei. Tapi tahun 2023 ini akan kita coba sandingkan antara hasil survei dengan hasil pengukuran langsung,” katanya.
Kementerian Kesehatan sesuai arahan Presiden Joko Widodo sudah membagikan alat timbangan dan antropometri baru ke seluruh posyandu, supaya metode pengukuran setiap anak di daerah menggunakan disiplin cara yang sama termasuk pelaporannya yang sama.
Menkes menyatakan pemerintah sudah menargetkan angka stunting yang pada tahun 2022 berada di angka 21,6 persen, harus diturunkan menjadi 17 persen pada tahun 2023.
Meski mengalami sejumlah kendala, Kementerian Kesehatan mengaku akan mengupayakan kerapian data SSGI pada tiap balita tersusun secara by name by address di semua daerah.
“Saya juga ingin mengucapkan terima kasih pada seluruh provinsi yang sudah melakukan, membantu, mendorong program stunting ke seluruh dinas kesehatan kabupaten/kota yang juga sudah bekerja sangat keras untuk menurunkan angka stunting secara nasional,” katanya.
(mdk/ray)