MUI: Pemohon kawin beda agama berpikir kolonial dan dangkal
MUI secara tegas menolak pencabutan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menolak pencabutan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini lantaran pencabutan tersebut dapat membuka peluang bagi terjadinya perkawinan beda agama yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Terkait hal ini, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pengurus MUI Luthfie Hakim menyatakan pemohon uji materi pasal tersebut berpikiran dangkal. Dia mendasarkan hal ini pada dalil diajukan oleh pemohon yang menyatakan ketiadaan pasal tersebut tidak akan menyebabkan hilangnya aspek religius dalam konstelasi hukum perkawinan di Indonesia.
"Cara pandang para pemohon tampak dangkal dan tumpul. Karena justru pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan itulah terletak aspek religius hukum perkawinan di Indonesia," ujar Luthfie dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (5/11).
Selain itu, Luthfie menerangkan pemohon seolah ingin mengajak masyarakat untuk kembali merujuk pada hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda. Menurut dia, hal itu justru mengajak masyarakat untuk berpikir mundur.
"Para pemohon hadir dalam persidangan ini dengan maksud mengajak kita semua kembali pada cara pandang kolonialis Belanda," ungkap dia.
Selanjutnya, Luthfie menjelaskan keinginan para pemohon agar ada pengesahan beda agama sama seperti pemberlakuan Rancangan Ordonansi Perkawinan pada tahun 1937 yang akan diberlakukan kepada orang-orang Indonesia yang beragama Islam, Hindu, Animis, dan timur asing.
Lebih jauh, Luthfie menuding para pemohon tidak memiliki referensi yang cukup dalam mengajukan permohonan ini. Hal ini karena pemohon tidak memiliki pengetahuan bagaimana sulitnya UU Perkawinan ini dulu dibuat dan disahkan.
"Seandainya saja para pemohon uji materi membaca terlebih dahulu sejarah panjang perumusan Pasal 2 ayat (1), maka MUI meyakini para pemohon sebagai kaum terpelajar tentu tidak akan mengajukan permohonan yang seluruh posita permohonannya sudah menjadi bagian dari perdebatan panjang perumusan pasal yang diuji dalam persidangan ini," terangnya.