Nestapa TKI ilegal diperas polisi Malaysia berjuta-juta rupiah
Agustinus ingin mengubah nasib. Dia hijrah dari kampungnya di NTT menuju Malaysia.
Agustinus Nahak (50) kapok menjadi pekerja sawit ilegal di Malaysia. Betapa tidak sejak awal dirinya hijrah dari tanah kelahirannya di Malaka, NTT, kesulitan hidup terus menerus menerpa dirinya.
"Tahun 1998 berangkat ditampung di Pontianak setengah tahun di sana, diberi makan satu dua sendok saja. Bagi kami orang timur itu tidak biasa," jelas Agustinus saat berkumpul dengan paralegal di Desa Bakiruk, Malaka Tengah, NTT, Kamis (12/2).
Di Pontianak pun Agustinus dan rekan-rekannya pun terpaksa luntang lantung. Padahal dirinya telah mengantongi izin dan dokumen resmi yang dia anggap resmi.
"Di sana banyak angkut-angkut pasir kami bantu ikut," cerita lelaki yang buta huruf ini.
Setelah sampai di Malaysia, rupanya Agustinus tergoda oleh rayuan teman-temannya. Saat itu temannya mengajak dirinya kerja di perkebunan lain yang gajinya lebih besar.
"Saya saat itu sedang traning jadi uang hampir tidak cukup lalu diajak. Di rumah keluarga butuh 3 bulan kami jadi terpaksa pindah di mana tempat ada uang," sambung Agustinus.
Dia tahu lari dari pekerjaan berarti status Agustinus menjadi TKI ilegal karena paspor Agustinus ditahan perusahaan. Namun dia nekat mengambil peluang itu.
Mendapat pendapatan lebih besar, Agustinus lebih giat. Bahkan untuk mengirim uang melalui kota dia harus bolak balik 5 sampai 8 kilo.
"Kisaran satu task saya mendapat 800 sampai 1500 ringgit," lanjut dia.
Munjur pun berhenti saat dia ditangkap polisi Malaysia karena statusnya ilegal. "Saya ditangkap polisi saya kasih 600 ringgit tadinya dia minta 1.000 ringgit (sekitar Rp 2,5 juta pada waktu itu). Itu satu bulan gaji sisa dari kota. Saya minta nama dan nomor telepon nanti saya sudah gajian saya bayar tapi dia tidak mau," ungkap Agustinus.
Dari situ akhirnya dia kapok dan mulai kembali mengurus statusnya lagi agar dapat bekerja legal. Dia pulang ke Indonesia dan keuletan Agustinus berbuah hasil.
"Uang dari sana buat bikin rumah, beli tanah, anak sekolah. Saya beli tanah hampir satu hektar," ucap dia bangga.
Keinginan untuk kembali ke Malaysia mendulang uang dia turunkan kepada anak laki-lakinya. Kini anak laki-laki Agustinus telah bekerja sebagai mandor di perkebunan Malaysia dengan upah Rp 7 juta perbulan. Agustinus pun tak lupa mengingatkan anaknya untuk bekerja secara legal agar tidak bernasib serupa dengan Agustinus.