Pakar hukum: Hak imunitas anggota DPR tak berlaku untuk kasus korupsi
Refly menjelaskan, hak imunitas anggota DPR yang diatur dalam pasal 224 ayat 1 UU MD3 memiliki pengecualian. Hak imunitas itu, kata Refly, tidak berlaku jika anggota DPR membuka perkara yang dinyatakan tertutup ke publik dan terlibat tindak pidana khusus seperti korupsi.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa saja memanggil paksa Ketua DPR Setya Novanto untuk diperiksa terkait kasus e-KTP meski memiliki hak imunitas. Bahkan, menurutnya, KPK diperbolehkan menahan Setnov jika tidak kooperatif, menghilangkan alat bukti dan berupaya menghalangi proses penyidikan.
"Jangankan pemanggilan paksa, menahan pun tidak ada persoalan," ujar Refly di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/11).
Refly menjelaskan, hak imunitas anggota DPR yang diatur dalam pasal 224 ayat 1 UU MD3 memiliki pengecualian. Hak imunitas itu, kata Refly, tidak berlaku jika anggota DPR membuka perkara yang dinyatakan tertutup ke publik dan terlibat tindak pidana khusus seperti korupsi.
"Tapi sekali lagi, hak imunitas tidak pernah berlaku untuk kasus korupsi. Itu perlu dicatat. Hak imunitas tidak pernah berlaku untuk kasus korupsi apalagi kasus korupsi yang disidik oleh KPK," ujarnya.
Oleh karena itu, Refly meminta Setnov untuk memberikan contoh baik dengan hadir dalam pemeriksaan KPK. Setnov disarankan tidak berlindung di balik pasal 245 ayat 1 soal pemanggilan anggota DPR harus seizin presiden atau hak imunitas.
"Menurut saya, seharusnya ketua dpe memberikan contoh yang baik datang ke KPK memberikan keterangan baik sebagai saksi maupun tersangka utk membuat clear masalah ini. Tidak boleh berlindung di balik prosedur dan hak imunitas," ungkapnya.
Setnov melalui tim kuasa hukumnya menyatakan bakal terus mangkir dari panggilan KPK sampai MK mengeluarkan putusan atas gugatan uji materi UU KPK. Refly menegaskan berdasarkan prosedur di MK, KPK tetap bisa menyidik Setnov meski uji materi UU KPK masih diuji dan belum keluar putusan.
"Jadi kalau undang undang itu memberikan hak secara clear kepada KPK untuk bisa memanggil seorang tersangka bahkan menahan tersangka, sebelum undang-undang itu dibatalkan eksistensinya maka itu tetap bisa digunakan," tandasnya.
"Kalau misalnya pihak Setya Novanto dalam hal ini membangkang. Maka KPK bisa melakukan upaya paksa. Termasuk menahan. Sampai ada putusan MK yang menyatakan pasal itu tidak berlaku," tukas Refly.
Diketahui, Kuasa Hukum Setnov, Fredrich Yunadi menegaskan kliennya tidak akan memenuhi panggilan KPK sampai ada putusan dari MK terkait judicial review yang baru saja dilaporkan terkait UU KPK.
Menurutnya, keputusan ini sama dengan KPK yang menolak hadir dalam rapat Pansus hak Angket KPK. Alasannya karena KPK menunggu putusan dari MK terkait ke keabsahan Pansus Angket KPK.
"Mereka kan selalu mengabaikan panggilan pansus dengan alasan menunggu putusan MK baru mereka akan menentukan sikap akan memenuhi panggilan daripada pansus atau tidak. Kami juga sekarang mengatakan bahwa klien kami akan menunggu putusan MK untuk menentukan sikap," jelasnya.