Pelaku pembunuhan sadis di Malang, antara Abdullah dan ASRSB
Penyebab seseorang menjadi pelaku pembunuhan tidak lepas dari pengaruh lingkungan dan perasaan yang dialaminya.
Remaja pelaku pembunuhan nenek kandung, ASRSB (16) mungkin tidak mengenal Abdullah Lutfianto (55). Kalaupun kenal barangkali sebatas tahu lewat pemberitaan media.
Abdullah adalah pelaku pembunuhan istri dan anaknya dengan cara digorok, seperti yang dilakukan ASRSB, Minggu (21/2) kemarin. Akibat perbuatannya, Rabu (24/2) kemarin, Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Malang menjatuhkan vonis hukuman 20 tahun penjara.
Abdullah terbukti membunuh istrinya, Wiwik Halimah (48) dengan cara keji, yakni dengan digorok. Sementara putrinya, PSD (16) juga dihabisi dengan pedangnya, karena memergoki perbuatan sadisnya.
Saat itu Abdullah berusaha menghilangkan jejak dengan membakar jasad dan rumah. Karena gagal, akhirnya berusaha bunuh diri dengan minum cairan pembersih lain, obat sesak napas dan bensin. Usaha bunuh diri pun gagal karena diselamatkan petugas.
Kemarahan Abdullah diduga karena akumulasi dari sekian persoalan yang membenaninya. Saat itu, dia diancam gugat cerai karena kesehariannya yang tanpa pekerjaan. Kesadisan Abdullah itu terjadi 5 Agustus 2015 dan baru diputus perkaranya sekitar 7 bulan kemudian.
Sungguh disayangkan, lima hari sebelum kasus Abdullah diputus, kasus serupa kembali terjadi. ASRSB (16) yang masih remaja tidak kalah sadis dari Abdullah.
ASRSB (16) membunuh neneknya sendiri, Betsy Susilowati (91) dengan cara dipukul, dibekap dan digorok. Jasad sang nenek kemudian diseret ke sungai di samping tempat tinggalnya yang berjarak 20 meter.
Dari atas jembatan setinggi sekitar 10 meter, jasad Betsy dijatuhkan dan baru sekitar 24 Jam kemudian ditemukan oleh warga. Jasad ditemukan sekitar 1 kilometer dari lokasi.
Usai melakukan aksinya, ASRSB sempat berjalan-jalan ke area Car Free Day dan menjual cincin yang diambil dari jari neneknya. Cincin tersebut dijual di sebuah toko emas di mal ternama di Kota Malang dengan harga Rp 850 Ribu. Uangnya digunakan untuk makan-makan, bayar utang dan sedekah di sekolahan.
ASRSB mengaku jengkel dengan neneknya bahkan berdasarkan pengakuan, aksinya dilakukan sambil berteriak 'Saya benci nenek' secara berulang. Dia begitu membenci sang nenek.
Kebencian ASRSB diduga dipicu oleh kondisi keluarga yang disharmonis, dan komunikasi yang tidak lancar. ASRSB sama sekali tidak memfigurkan neneknya, karena banyak persoalan yang menurut anggapannya datang karena sang nenek.
Saat anak-anak sepeda ASRSB pernah dibuang sang nenek lantaran konflik para orang tua. Ayah dan ibunya juga berpisah, hingga dirinya hanya tinggal bersama ayah dan kakaknya.
Akumulasi ketidaksukaan pada nenek Betsy membuat ASRSB nekad. Pikiran pragmatisnya, tanpa nenek masalah akan selesai, meski sesungguhnya sebuah persoalan baru justru datang.
Rachmawati, psikolog Universitas Wisnuwardhana Malang, berpendapat aksi sadis yang dilakukan ASRSB merupakan kumpulan kemarahan yang tidak keluar. Seorang anak, saat dimarahi oleh orang tua akan terdiam, tetapi sesunggungnya energi dendam tersimpan.
"Kalau setiap hari dimarahi dan dicaci maki akan terkumpul, yang suatu saat akan keluar. Besarnya tergantung pertahanannya dan provokasinya juga," katanya, Kamis (25/2).
Kondisi ini akan berbeda dengan yang dialami oleh orang dewasa. Pada kasus Abdullah, kecenderungan yang terjadi lebih bisa menggelola kemarahan. Sehingga kecenderungan kalau orang dewasa melakukan aksi sadisnya diikuti pertimbangan.
"Selain itu, kalau orang dewasa kemungkinan lebih besar faktor-faktor lingkungannya," tegasnya.
Achmad Marzuki, aktivis perlindungan anak menyebutkan, perbuatan seorang anak datang tidak serta merta. Perbuatannya bersumber atau terinspirasi dari perbuatan orang lain, para orang dewasa.
"Pelaku belajar dari para orang dewasa yang kerap mempertontonkan praktik kekerasan. Belajar dari lingkungan yang menampilkan ketidaksukaan, kesadisan yang bisa datang lewat adegan-adegan film dan televisi yang jadi tontonan. Tidak datang dengan tiba-tiba," katanya.
Secara hukum ASRSB bisa dipidana dan dianggap bersalah, tetapi sesuhngguhnya dia korban para orang tua. Bimbingan tidak pernah didapatkan, tapi persoalan yang justru dibebankan di pundaknya.