Penyakit yang Bisa Hapus Tindak Pidana Seseorang
Dia menyatakan bahwa orang yang mengalami penyakit gangguan jiwa tidak harus dipidana.
Polisi menetapkan mantan politisi Demokrat Ferdinand Hutahaean sebagai tersangka kasus dugaan ujaran kebencian mengandung SARA. Sebelum ditahan, Ferdinand meminta penangguhan penahanan karena punya riwayat gangguan syaraf. Bahkan sebelum jadi tersangka, Ferdinand juga sempat menolak untuk diperiksa karena alasan yang sama.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan dalam kasus Ferdinand, dia mesti bertanggungjawab atas perbuatannya meski dibilang punya penyakit syaraf. Pasalnya, orang yang berpendapat di medsos termasuk ujaran orang waras.
-
Siapa yang ditangkap polisi? "Kami telah mengidentifikasi beberapa pelaku, dan saat ini kami baru menangkap satu orang, sementara yang lainnya masih dalam pengejaran," ujar Kusworo.
-
Bagaimana polisi tersebut disekap? Saat aksi percobaan pembunuhan itu dilakukan, korban memberontak sehingga pisau badik yang dipegang pelaku N mengenai jari korban dan mengeluarkan darah. "Selanjutnya tersangka N melakban kedua kaki agar korban tidak berontak.
-
Apa yang dilakukan penerus para jenderal polisi? Penerus Sang Jenderal Putra para Jenderal Polisi ini mengikuti jejak sang ayah.
-
Apa yang menjadi ciri khas Jenderal Hoegeng selama bertugas di kepolisian? Semasa kariernya di kepolisian, Hoegeng menjadi salah satu anggota yang dikenal sangat jujur dan memiliki keberanian yang tinggi.
-
Siapa saja penerus para Jenderal Polisi? Ipda Muhammad Yudisthira Rycko anak Komjen Rycko Amelza Dahniel. Yudisthira lulusan Akpol 51 Adnyana Yuddhaga. Ipda Jevo Batara anak Irjen Napoleon Bonaparte. Jevo polisi muda berparas tampan. Iptu Ryan Rasyid anak Irjen Hendro Pandowo. Ryan baru lulus dari Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Ipda Adira Rizky Nugroho anak Irjen (Purn) Yazid Fanani. Adira peraih Adhi Makayasa Dia lulusan Akpol Angkatan ke-53 tahun 2022. Iptu Danny Trisespianto Arief Anak mantan Kapolri Sutarman.
-
Kapan Polri mengatur pangkat polisi? Hal itu sesuai dengan peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2016 tentang Administrasi Kepangkatan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Dia dengan sadar kok ujarannya, di medsos pun sebenarnya ujaran orang waras, dia ngerti hak dan kewajibannya dia berpendapat gini gitu dia ngerti, penyakit jseperti itu gak bisa, (tetap) dipertanggung jawabkan dalam pidana, dia tetap diperlakukan sebagai orang normal," katanya saat dihubungi, Selasa (11/1).
Dia menambahkan, jika seseorang mengalami stres ataupun gangguan kejiwaan dan berujar yang menyebabkan keonaran di medsos mesti diperiksa lebih jauh. Sebab, secara logika orang tersebut sadar dan belum tentu penyakitnya bisa mengesampingkan pidananya.
"Logikanya kalau orang bisa masuk ke media sosial cara berpikirnya juga masih sehat, masih logic, dia tahu akunnya sendiri, dia tahu masuk dari mana akunnya segala macam, artinya ada kesadarannya," tutup Abdul.
Penyakit yang Tak Bisa Dipidana
Fickar menjelaskan terkait bisa atau tidaknya seseorang dipidana jika mengalami suatu penyakit. Dia menyatakan bahwa orang yang mengalami penyakit gangguan jiwa tidak harus dipidana.
"Sebenarnya tidak ada yang bisa menghilangkan tanggung jawab pidana seseorang kecuali penyakit jiwa," papar Fickar.
Menurutnya, pikiran orang yang mengalami penyakit kejiwaan tak bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya, dia direkomendasikan untuk menjalani perawatan sesuai rekomendasi ahli lalu hakim.
"Umpamanya maki-maki orang atau mukul orang tapi ketika diperiksa dia gila, dia hilang kesadarannya dia stres atau gimana, diperiksa kan itu oleh dokter ahli, atau dasar rekomendasi dokter ahli maka hakim bisa menghukum dalam tanda kutip memasukkannya dalam perawatan," ucapnya.
"Jadi dia bukan dihukum pidana tapi dirawat dirumah sakit sebagaimana semestinya," tambah Abdul.
Dia mengungkapkan, pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana tetapi dia jiwanya tidak bisa dipertanggungjawabkan karena cacat maka dia tidak harus dipidana.
"Orang gila memang enggak bisa dipidana karena enggak punya pikiran yang pasti itu," ujarnya.
"Tapi kalau yang tidak terganggu sakitnya bukan sakit jiwa, sama tidak ada kompensasi apa-apa," tambah Abdul.
Isi Pasal 44 KUHP
Dalam Pasal 44 KUHP sendiri disebutkan bahwa:
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
(mdk/ray)