Praktisi Hukum: Hakim MK Kerap Terlibat Konflik Kepentingan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhakn sanksi pemberhentian dari posisi ketua MK kepada Anwar Usman.
Hakim MK sering terbelit konflik kepentingan. Khususnya, dalam beberapa pekara uji materi
Praktisi Hukum: Hakim MK Kerap Terlibat Konflik Kepentingan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhakn sanksi pemberhentian dari posisi ketua MK kepada Anwar Usman.
MKMK mendasarkan putusan tersebut dari bukti terjadi pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
Namun Praktisi Hukum, Mellisa Angraini, menilai, Hakim MK sering terbelit konflik kepentingan. Khususnya, dalam beberapa pekara uji materi.
"Prisip Hakim tidak boleh mengadili perkara yang terkait dengan dirinya dikenal sebagai asas nemo 'Judex in causa sua'. Dalam sejarah MK, ketentuan Judicial Disqualification ini memang bukan merupakan hal yang diadopsi secara tegas dan jelas,” kata Mellisa Anggraini, Kamis (9/11).
Penasihat Hukum David Ozora ini menjelaskan, sejak berdiri di tahun 2003, beberapa kasus uji materi yang diperiksa oleh Hakim memiliki indikasi konflik kepentingan.
"Pak Mahfud MD sendiri, pernah mengadili pekara uji materi UU 24/2003 tentang MK, yang ternyata pada saat UU dibahas di DPR, Pak Mahfud ikut membahasnya, karena masih anggota DPR-RI,” jelas Mellisa.
Arief Hidayat
Bahkan, lanjut Mellisa, Arief Hidayat tidak pernah mundur dari Majelis MK saat uji materi UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama dan UU Peradilan Tata Usaha Negara dengan pemohon dari Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI).
Dalam pekara uji materi di tahun 2015 tersebut, MK memutuskan pasal-pasal yang berkaitan dengan kewenanag Komisi Yudisial (KY) untuk ikut dalam seleksi Hakim bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mengikat secara hukum.
Dan keterlibatan KY dalam seleksi hakim adalah bentuk intervensi kelembagaan yang merusak mekanisme check and balances.
"Pada saat uji materi itu, Arief Hidayat dan 2 hakim MK lainnya, masih menjadi anggota IKAHI, karena berasal dari rekomendasi Mahkamah Agung,” kata Mellisa.
“Selama 20 tahun tindakan ini tidak dianggap masalah besar, namun menjadi berbeda ketika berkaitan dengan UU Pemilu,” tambah Mellisa.