Putusan PTUN Terkait Tragedi Semanggi I & II Dinilai Pintu Masuk Negara Taat Aturan
Sumarsih mengatakan, selama rangkaian sidang, pihak Kejaksaan Agung tidak memberikan keterangan ataupun argumen yang jujur terkait proses penyelidikan dan penyidikan atas tragedi Semanggi.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN (PTUN) terkait pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin disambut positif oleh koalisi pegiat hak asasi manusia, dan keluarga dari korban tragedi Semanggi I dan II.
Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I, mengatakan momen ini merupakan pintu bagi negara untuk taat terhadap segala peraturan.
-
Di mana tragedi ini terjadi? Hari ini, 13 November pada tahun 1998 silam, terjadi demonstrasi besar-besaran di kawasan Semanggi, Jakarta.
-
Kenapa Tragedi Semanggi 1 terjadi? Aksi ini dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap agenda dan pelaksanaan Sidang Istimewa MPR yang menunjuk B.J Habibie sebagai presiden menggantikan penguasa Orde Baru.
-
Kapan tragedi ini terjadi? Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998. Kejadian ini menyebabkan tewasnya 17 warga sipil.
-
Apa yang terjadi di Tragedi Semanggi 1? Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998. Kejadian ini menyebabkan tewasnya 17 warga sipil.
-
Kapan tragedi Kanjuruhan terjadi? Puncaknya meletus pada Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022.
-
Kapan Tragedi Bintaro terjadi? Tragedi Bintaro 1987 terjadi karena kecelakaan kereta api yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Kronologi kejadian dimulai saat dua kereta api bertabrakan di Stasiun Pondok Ranji, Bintaro pada 19 Oktober 1987.
"Putusan PTUN ini berarti bahwa PTUN Jakarta menjadi pintu untuk memperbaiki agar pejabat negara taat di dalam melaksanakan peraturan dengan baik dan jujur, benar," ucap Sumarsih dalam diskusi virtual, Rabu (4/11).
Sumarsih mengatakan, selama rangkaian sidang, pihak Kejaksaan Agung tidak memberikan keterangan ataupun argumen yang jujur terkait proses penyelidikan dan penyidikan atas tragedi Semanggi.
"Dalam sidang di PTUN tidak ada kejujuran dari pihak Kejaksaan Agung," katanya.
Pernyataan Sumarsih ditimpali oleh anggota tim kuasa hukum penggugat, Trioria Pretty, yang menyebut Jaksa Agung Burhanuddin menunjukkan sikap inkonsisten terhadap pernyataannya.
"Dalilnya jaksa agung bilang bahwa pernyataan ini enggak signifikan. Ini cuma slip of tongue, karena proses bolak-balik berkas tetap dilakukan. Di sini ada ketidakkonsisten, kenapa jaksa agung tunjukan tidak ada pelanggaran HAM berat?" ujar Trioria.
"Jadi kita lihat di sini ada tidak konsisten upaya mengaburkan penegakan hukum yang sebenarnya terjadi."
Diketahui, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta memutuskan Jaksa Agung ST Burhanuddin melawan hukum atas pernyataannya terkait tragedi Semanggi I dan II. Pernyataan tersebut disampaikan Burhanuddin dalam rapat dengan Komisi I DPR pada 16 Januari 2020.
Mengutip dari situs resmi direktori putusan Mahkamah Agung, kalimat Burhanuddin yang dianggap melawan hukum yakni peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.
"Menyatakan tindakan pemerintah berupa penyampaian tergugat dalam rapat kerja antara Komisi III DPR dan Jaksa Agung pada tanggal 16 Januari yang menyampaikan '..peristiwa Semanggi I dan II yang sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU no.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM' adalah perbuatan hukum oleh badan dan/pejabat pemerintahan," demikian diktum putusan yang dikutip pada Rabu (4/11).
Putusan yang diketuai oleh Hakim Andi Muh.Ali Rahman itu juga mewajibkan Burhanuddin atau lembaga sebagai tergugat, untuk membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi I dan II sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya, sepanjang belum ada keputusan yang menyatakan sebaliknya.
Hakim juga menghukum tergugat membayar biaya perkara Rp285.000.
(mdk/rhm)