Respons Gerindra soal Gugatan ke MK, Masa Jabatan Ketum Dibatasi jadi 5 Tahun
Gugatan itu diterima pada Rabu 21 Juni 2023, yang dikuasakan terhadap Leonardo Siahaan. Di mana dalam gugatannya itu mereka turut mempermasalahkan jabatan ketua umum partai politik (Parpol) yang selama ini tidak diatur dalam undang-undang.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima gugatan judicial review (JC) terhadap Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Permohonan diajukan oleh dua orang bernama Eliadi Hulu warga Nias, Sumatera Utara dan Saiful Salim warga asal Mantrijeron, Yogyakarta.
Gugatan itu diterima pada Rabu 21 Juni 2023, yang dikuasakan terhadap Leonardo Siahaan. Di mana dalam gugatannya itu mereka turut mempermasalahkan jabatan ketua umum partai politik (Parpol) yang selama ini tidak diatur dalam undang-undang.
-
Apa yang menjadi topik utama dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini? Mahkamah Konstitusi (MK) memulai rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada hari ini, Sabtu, usai sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, yang bertujuan untuk menentukan putusan dari seluruh proses PHPU.
-
Apa yang dirayakan pada Hari Konstitusi Republik Indonesia? Peringatan ini berkaitan dengan rantai peristiwa penting yang menentukan arah perjalanan sejarah Indonesia sebagai sebuah bangsa. Hari Peringatan Konstitusi ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2008, diperingati sejak tahun 2008.
-
Apa yang sedang viral di Makassar? Viral Masjid Dijual di Makassar, Ini Penjelasan Camat dan Imam Masjid Fatimah Umar di Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar viral karena hendak dijual.
-
Kolak apa yang viral di Mangga Besar? Baru-baru ini ramai di media sosial war kolak di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat. Sebagaimana terlihat dalam video yang tayang di akun Instagram @noonarosa, warga sudah antre sejak pukul 14:00 WIB sebelum kedainya buka.
-
Bagaimana kasus-kasus viral ini diusut polisi? Ragam Kasus Usai Viral Polisi Baru Bergerak Media sosial kerap menjadi sarana masyarakat menyuarakan kegelisahan Termasuk jika berhubungan dengan kepolisian yang tak kunjung bergerak mengusut laporan Kasus viral yang baru langsung diusut memunculkan istilah 'no viral, no justice'
-
Mengapa kejadian ini viral? Tak lama, unggahan tersebut seketika mencuri perhatian hingga viral di sosial media.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman menilai gugatan tersebut sangat aneh. Sebab, partai berhak menentukan aturan internal partainya.
"Itu aneh ya pertama soal jabatan itu, itu lebih dalam lagi, lebih spesial lagi daripada legal policy. Kalau open legal policy itu kan di DPR, kalau jabatan parpol itu ada di masing-masing partai politik," kata dia, kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/6).
Habiburokhman menyebut aturan tersebut semestinya hanya berlaku bagi masing-masing partai politik. Penentuan Ketum partai, merupakan hak masing-masing parpol tanpa harus diintervensi.
"Kalau dia mau atur partai orang ya aneh sekali, sesuatu yang oleh negara pengaturan partai politik dijaga banget tidak diintervensi dan tidak dimasukkan ke dalam undang-undang," ujar Habiburokhman.
"Hal yang sangat demokratis, yaitu menentukan pilihan ketua umum diserahkan kepada anggota partai politik kok mau dirampok, mau diserahkan kepada negara lewat pengaturan undang-undang, ini kan kebalik,menjungkirbalikkan akal sehat demokrasi ini orang, saya pikir aneh sekali ya enggak tahu dasarnya apa, apa karena ketidaktahuan atau dasar lain," sambungnya.
Terlebih, dia menjelaskan sumber pembiayaan partai 90 persen berasal dari kader. Hal ini yang menjadi dasar negara tak bisa ikut campur dalam penentuan ketua umum. Dia mengatakan gugatan itu sebenarnya tak berdasar pada hukum.
"Dan perlu diingat partai politik itu kan 90 persen pembiayaannya swadaya oleh masing-masing partai politiknya, masa negara mau ngatur. Kecuali seratus persen dibiayai oleh negara, kayak DPR misalnya, masuk akal," ujarnya.
"Saya kan jauh sebelum di sini kan saya bolak-balik menggugat materi ke MK. Ini jauh sekali, legal standing-nya enggak ada. Kerugian konstitusionalnya, baik kerugian yang nyata maupun potensi juga enggak ada. Mau mengaku warga ya silakan saja, secara formal menempuh. Tetapi menurut saya ini akan mentah," imbuh Habiburokhman.