Riset Populix: 73% Pekerja Pernah Alami Perlakuan Tak Menyenangkan, Diskriminasi Hingga Pelecehan Seksual
Tingginya angka pekerja yang mengaku mendapat perlakuan tidak menyenangkan di dunia kerja, diperburuk dengan penanganan kasus yang cenderung tak maksimal.
Riset dilakukan terhadap 1.412 pekerja di seluruh Indonesia secara online.
- Riset: Seminggu Kerja Lebih dari 54 Jam Bepotensi Cepat Meninggal
- Riset Ini Sebut 46 Perusahaan Kesulitan Mencari Karyawan di Tengah Tingginya Angka Pengangguran
- Penipu Puluhan Pelamar Kerja di Jaktim Diduga Pegawai Toko Ponsel di PGC, Curi Data Pribadi untuk Pinjol
- Puluhan Orang Ditangkap di Sulsel Terkait Penipuan Online, Barang Buktinya Bikin Polisi Kaget
Riset Populix: 73% Pekerja Pernah Alami Perlakuan Tak Menyenangkan, Diskriminasi Hingga Pelecehan Seksual
Lembaga riset Populix melakukan riset terhadap 1.412 pekerja di seluruh Indonesia untuk melihat perlakuan yang mereka dapatkan selama bekerja. Hasilnya, 73 persen karyawan mengaku pernah mengalami perlakukan tidak menyenangkan saat bekerja dengan bentuk yang beragam.
Perlakuan tidak menyenangkan yang mereka alami seperti verbal (76 persen), diskriminasi (63 persen), pemaksaan kerja (61 persen), pelecehan seksual (41 persen) maupun kekerasan fisik (25 persen).
"Perlakuan tidak menyenangkan berbentuk verbal paling sering dialami pekerja adalah kata-kata menghina atau meremehkan (76 persen). Lalu makian, teriakan dan bentakan (47 persen), candaan tidak senonoh (40 persen), fitnah/gosip (40 persen), penghinaan fisik/body shaming (38 persen), ancaman dan tekanan (27 persen), serta bullying atau perundungan (19 persen)," kata Senior Executive Social Research Populix, Wayan Aristana, dalam rilis yang diterima merdeka.com, Minggu (30/6).
Pelecehan dalam Bentuk Catcalling
Terkait pelecehan seksual yang dialami 40 persen pekerja, sebanyak 76 di antaranya mengalami pelecehan dalam bentuk catcalling seperti godaan, candaan, siulan berbau seksual.
Bentuk pelecehan lain dengan memperhatikan bagian tubuh tertentu secara terus menerus (42 persen), mendapatkan gesture seksual (kedipan, gestur mencium) dan disentuh, dicium, dipeluk tanpa persetujuan yang dialami oleh 22 persen korban pelecehan seksual di tempat kerja.
Wayan Aristana menambahkan, tingginya angka pekerja yang mengaku mendapat perlakuan tidak menyenangkan di dunia kerja, diperburuk dengan penanganan kasus yang cenderung tak maksimal.
“Berdasarkan pengakuan responden yang pernah menjadi korban, sebanyak 35 persen penanganan kasus perlakuan tidak menyenangkan di tempat kerja tidak terselesaikan. Ditambah lagi, sebanyak 21 persen penanganan kasusnya malah tidak berpihak pada korban,” ujarnya.
Padahal, pada dasarnya mereka mengetahui bahwa tempatnya bekerja memiliki mekanisme penanganan untuk perlakuan tidak menyenangkan. Bahkan 35 persen responden mengatakan bahwa perusahaannya memiliki peraturan khusus untuk menangani kasus semacam ini.
Ada yang menyediakan aturan sanksi yang cukup tegas bagi pelaku (28 persen) dan juga mekanisme pelaporannya (25 persen).
"Penanganan tidak maksimal pada kasus perlakuan tidak menyenangkan terhadap pekerja menyebabkan kasus yang sama terus berulang," katanya.
Saat responden ditanyakan kembali dampak dari penanganan kasus tak maksimal, korban kembali mendapatkan perbuatan yang sama (91 persen), diancam (67 persen) atau justru mengalami perbuatan negatif lainnya.
"Bahkan ada pekerja yang mengaku korban justru berujung diberhentikan dari pekerjaannya,” tutur Aristana.
Sementara, Head of Human Resources Populix Jonas Danny, mengatakan kasus dan peristiwa perlakuan tidak menyenangkan menjadi salah satu tugas bagian Human Resources (HR) yang cukup pelik.
"Memang hampir seluruh mekanisme penanganan perlakuan tidak menyenangkan ini sifatnya delik aduan, yaitu harus ada pengaduan dari pihak korban," kata dia.
"Sedangkan dalam kasus ini seringkali korban juga merasa enggan untuk melapor karena ada ketakutan akan bocornya informasi mengenai identitas pelapor. Bahkan ketika mereka melapor pun, belum tentu hasilnya akan berpihak kepada mereka, karena bisa jadi pelaku justru dilindungi oleh pihak perusahaan karena satu dan lain hal," imbuhnya.
Sebagai informasi, riset dilakukan terhadap 1.412 pekerja secara online dengan responden tersebar diseluruh wilayah Indonesia.
Pekerja yang menjawab survei ini didominasi oleh pegawai swasta (66%), pekerja lepas/freelance (19%) sisanya ASN/PNS/Pegawai Pemerintah, karyawan BUMN, Profesional dan lainnya. TNI/Polisi dikecualikan dalam survei. Survei dilakukan pada 28 Mei-4 Juni, 2024.