Rumah warga digusur buat perluasan hotel berbintang di Serang
Warga mengaku tak pernah menyetujui penggusuran, bahkan tanda tangan mereka pun dipalsukan.
Empat rumah warga yang berada di atas lahan negara seluas 1,3 hektar di Kelurahan Sumur Pecung, Kecamatan Serang, Kota Serang, rata dengan tanah setelah dieksekusi untuk pengosongan lahan oleh pihak Pengadilan Negeri Serang, Rabu (18/2).
Penggusuran rumah warga yang berada tepat di sebelah Hotel Ledian, diduga untuk keperluan pelebaran hotel.
Ratusan personel polisi melakukan pengawalan, pengosongan lahan milik warga yang tepat berada di Jalan Bhayangkara yang sempat terjadi ketegangan. Warga mengaku tidak bisa berbuat banyak dan keberatan dengan penggusuran lahan dengan cara merobohkan bangunan rumah warga tersebut.
"Saya sudah sejak tahun 1967 di sini. Ada empat rumah yang dirobohkan termasuk rumah saya," kata Ketua RT 01/08, Satiyatno Aji, yang juga korban penggusuran, kepada wartawan.
Satyano mengaku sudah mendapatkan surat eksekusi pengosongan lahan tersebut pada tanggal 3 Februari lalu, namun menjadi kejanggalan, status kepemilikan lahan tersebut. Menurut dia, pada tahun 2008 pengadilan memutuskan lahan tersebut dikuasakan kepada Polda Banten.
"Polda yang menguasai, tetapi bukan memiliki lahan ini. Dan yang membuat saya kaget, Polda memiliki bukti perdamaian tahun 2008 (pengosongan lahan) antara warga, pihak Polda dan Pak Mardiono (Ketua PPP Banten yang juga pemilik Hotel Le Dian). Tanda tangan kami selaku warga juga ada semua di sana. Padahal kami tidak merasa menandatangani itu," katanya.
Dia mengakui, suatu hari dirinya dan warga lain, pernah menandatangani surat blangko alias kosong yang disodorkan oleh salah seorang pengacara. "Seingat saya pernah menandatangani itu. Tapi itu blangko, tidak ada tulisan yang berisi warga menyatakan berdamai dengan pihak Polda atau Pak Mardiono.
-
Siapa yang menemukan pendatang yang menjadi pemulung di Jakarta? "Ada juga yang beberapa waktu lalu ketemu ya kita pemulung segala macam. Kita kembalikan,"
-
Di mana kemacetan parah di Jakarta sering terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Kapan Desa Panggungharjo dibentuk? Desa Panggungharjo dibentuk berdasarkan maklumat monarki Yogyakarta tahun 1946 yang mengatur tentang tata kalurahan saat itu.
-
Kapan kemacetan di Jakarta terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Apa yang dilakukan Dudung Abdurachman di Pekan Raya Jakarta? Eks Kepala Staff Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI (Purn) Dudung Abdurachman kedapatan menghabiskan waktu luang bersama keluarga. Dia memilih untuk berkunjung ke Pekan Raya Jakarta (PRJ).
-
Di mana letak permukiman terbengkalai di Jakarta yang diulas dalam video? Baru-baru ini sebuah kawasan di wilayah Jakarta Timur yang terbengkalai terungkap, dengan deretan rumah yang ditinggalkan oleh penghuninya.
Setahun kemudian kami baru tahu isinya dan itu pun tidak pernah diperlihatkan surat aslinya. Isinya setelah saya baca ternyata memberatkan warga. Bahwa 'kalau terjadi apa-apa di kemudian hari, maka warga yang bertanggung jawab'. Ini kan memberatkan warga," katanya.
Satiyatno mengungkapkan, dirinya sebelumnya pernah mendapatkan tawaran dari pihak Ledian Hotel, berupa kompensasi rumah tipe 36 di Graha Asri Ciracas, Kota Serang, dan ditambah uang tunai sebesar Rp5 juta. "Saya pernah menerima uang itu, tapi saya kembalikan karena saya tidak mau dituding menjual aset Negara," terangnya.
Berdasarkan informasi, lahan tersebut mulanya milik salah satu warga etnis Tionghoa pada tahun 1950-an. Karena kebijakan pemerintah saat itu, warga negara asing (WNA) tidak dapat hak atas kepemilikan lahan, maka pemerintah mengambil alih lahan tersebut hingga menjadi lahan kosong. Pada tahun 1962 turunlah SK Bupati Serang, yang saat itu dijabat Suwandi, tentang penggunaan lahan untuk hunian asrama keluarga anggota kepolisian. Dan sebagian besar yang menjadi warga di lahan tersebut masih merupakan keluarga mantan anggota kepolisian.
Pada era Kapolda Banten Komjen Pol Timur Pradopo, dilanjut Satiyatno, 15 orang perwakilan warga pernah menghadap untuk mempertanyakan status kepemilikan lahan tersebut. Saat itu, Kapolda masih mengakui bahwa status tanah tersebut milik negara dan tidak dimiliki pihak swasta dan perorangan.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pihak yang dapat dikonfirmasi atas kejadian ini, baik dari Polda Banten maupun dari pihak Mardiono.