Rumah Kayu di Semarang Ini Jadi Saksi Bisu Sengitnya Pertempuran Melawan Penjajah, Ini Kisah di Baliknya
Pada dinding-dinding rumah itu masih terdapat lubang-lubang bekas peluru yang ditembakkan pada saat perang meletus.
Di kawasan Jalan Syuhada, Kota Semarang, ada sebuah rumah bersejarah yang menjadi saksi bisu sengitnya pertempuran pada zaman revolusi kemerdekaan tahun 1946. Pada dinding-dinding rumah itu masih terdapat lubang-lubang bekas peluru yang ditembakkan pada saat perang meletus. Diketahui sebanyak 74 anggota laskar pejuang gugur dalam peristiwa tersebut.
Mengutip ANTARA, rumah itu beralamat di Kampung Bugen, RT 05/RW 22, Kelurahan Tlogosari Kulon, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang. Rumah itu terbuat dari kayu dan berbentuk limasan. Walaupun peristiwa itu sudah lama berlalu, di dinding kayu rumah itu masih banyak ditemukan bekas peluru.
-
Dimana Rumah Bersejarah itu berada? Rumah sederhana itu berada di lereng Gunung Prau sebelah timur, tepatnya di Desa Purwosari, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal.
-
Apa yang ada di dalam Rumah Bersejarah itu? Di sana masih terdapat foto-foto jadul. Salah satu foto hitam putih memperlihatkan Raden Mas Ari Sumarmo yang masih kecil. Di samping itu terdapat banyak benda-benda asli peninggalan zaman dulu seperti kursi, guci, dan mesin jahit.
-
Siapa pemilik Rumah Bersejarah itu? Saat itu pemilik rumah tersebut adalah Raden Mas Ari Sumarmo Sastro Dimulyo.
-
Apa saja bangunan tua yang ada di Kampung Melayu Semarang? Bangunan-bangunan tuanya, seperti Masjid Menara, gedung tua tak bernama, dan Menara Syahbandar, menyimpan cerita menarik dari masa lampau.
-
Siapa pemilik bangunan tua di Semarang? Seperti diketahui dari postingan itu, rumah besar tersebut dulunya adalah milik pengusaha sandal merek 'Orie' berdarah Tionghoa, Ong Ing Yip.
-
Bagaimana ornament bangunan tua Semarang? Ada pula konsul dan angin-angin berbahan besi tebal, serta keramik kotak kecil-kecil yang warnanya sudah tak lagi sama antara satu sama lain karena saking uzurnya.
Lantas seperti apa sejarah rumah tua itu? Berikut selengkapnya:
Masih Asli
Ketua RT 05/RW 11 Kampung Bugen, Ponidi, menceritakan bahwa rumah tersebut adalah milik Haji Mustofa yang kemudian diwariskan kepada anak bungsunya, Musriatun. Ponidi adalah menantu Musriatun yang saat ini masih tinggal di rumah tersebut.
Walaupun dari luar lubang bekas peluru masih banyak ditemukan, dari dalam rumah bekas itu sudah tidak ditemukan lagi karena sudah ditambal dari dalam pada saat renovasi.
“Rumah ini masih asli. Dulu pernah direnovasi dengan cara ditempel kayu dari dalam. Kalau di luar masih dibiarkan asli seperti itu. Biar sejarahnya tidak hilang,” ujar Ponidi dikutip dari ANTARA pada Rabu (14/8).
Saksi Peristiwa Bersejarah
Rumah itu menjadi saksi peristiwa pertempuran yang terjadi di Semarang pada tahun 1946. Saat itu perkampungan telah dikosongkan dan warga mengungsi ke daerah Grobogan.
Pada saat perang itu, rumah tersebut menjadi markas 74 orang pejuang, 72 dari Laskar Sabilillah dan 2 orang dari Laskar Hizbullah. Mereka menjadikan rumah itu markas karena kondisinya kosong.
Namun Belanda mengetahui letak markas itu dan memborbardir rumah tersebut dengan senjata mitraliur dan tekidanto. Hujaman peluru dari Belanda membuat semua pejuang gugur di rumah tersebut.
Dikubur di Samping Rumah
Belanda kemudian mengubur mereka semua dalam satu lubang yang berada di depan rumah. Pemerintah kemudian memindahkan jasad mereka ke samping rumah dan membuatkan sebuah monumen berbentuk joglo untuk mengenang para pahlawan tersebut.
Pada tahun 1960, makam itu dibongkar lagi dan jasad para pejuang itu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Giri Tunggal. Namun hanya 40 kerangka yang dipindahkan.
Di antara nama-nama pejuang yang gugur di tempat itu adalah Kiai Anwar dari Solo, Kiai Tohar dari Boyolali, Kiai Sarju dari Kepatihan Solo, Hasan Anwar sebagai pimpinan Sabilillah, dan Subakir sebagai pimpinan Hizbullah.
Jadi Tempat Ziarah
Selama ini, banyak masyarakat yang berziarah ke tempat tersebut. Masyarakat sekitar juga rutin menggelar haul pada tanggal 11 Muharram atau minggu kedua pada bulan Muharram.
Menjelang HUT ke-79 Republik Indonesia, Ponidi berharap keberadaan itu mendapat perhatian dari pemerintah. Apalagi plafon rumah sudah banyak yang jebol dan beberapa genting hilang. Rumah itupun sudah berkali-kali tergenang banjir.
“Bisa dilihat sendiri, sudah banyak yang rusak. Kalau kayu jatinya ini butuh perawatan. Kami berharap pemerintah memberikan perhatian,” pungkasnya dikutip dari ANTARA.