Sarwo Edhie: Jangan berikan leher kalian gratis pada PKI
Salah satu kota sasaran RPKAD adalah Solo yang saat itu menjadi salah satu basis PKI.
Setelah menumpas G30S di Jakarta, Pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) bergerak ke Jawa Tengah. Salah satu kota sasaran RPKAD adalah Solo yang saat itu menjadi salah satu basis PKI.
RPKAD mulai memasuki Solo sekitar akhir Oktober 1965. Kedatangan komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan pasukannya disambut aksi mogok kerja Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) di Stasiun Solo Balapan.
Mereka hanya duduk-duduk di pinggir rel. Kereta dari Yogyakarta, Semarang, Madiun dan tujuan lain tertahan di Solo.
Kolonel Sarwo pun berdialog dengan para buruh tersebut. Wartawan Senior Hendro Subroto melukiskan peristiwa itu dalam buku 'Perjalanan Seorang Wartawan Perang' yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan.
Sarwo yang berkaca mata hitam berteriak. "Siapa yang mau mogok, berkumpul di sebelah kiri saya."
Hening. Tak ada yang bergerak. Sarwo berteriak lagi. "Siapa yang tidak mau mogok supaya berkumpul di sebelah kanan saya. Saya beri waktu lima menit!"
Ternyata semua pekerja itu berkumpul di sebelah kanan Sarwo. Tak ada satu pun yang berdiri di kiri. "Lho ternyata tidak ada yang mau mogok. Kalau begitu jalankan kereta api," kata Sarwo.
Para pekerja itu bergerak ke pos masing-masing. Mogok kerja berakhir, kereta pun berjalan kembali.
Di Jawa Tengah, pasukan ini juga kerap melakukan show of force. Mereka konvoi keliling kota dengan panser dan puluhan truk pasukan RPKAD. Para prajurit melambai-lambaikan tangan dengan ramah pada masyarakat yang semula takut. Strategi itu berhasil, rakyat menyambut sementara para pendukung G30S mulai ciut.
Sekain konvoi, Sarwo juga berorasi di rapat umum yang dihadiri ribuan massa. Sarwo mencoba menggerakan rakyat agar berani melawan PKI.
"Siapa yang bersedia dipotong lehernya dibayar seribu rupiah?" teriak Sarwo. Massa terdiam.
"Sepuluh ribu rupiah?" Massa masih diam.
"Seratus ribu? Sejuta? Sepuluh juta?" lanjut Sarwo pada massa yang terdiam.
"Jika dibayar Rp 10 juta saja kalian tidak mau dipotong lehernya, jangan berikan leher kalian secara gratis pada PKI. Kalian lawan PKI. Jika kalian takut, ABRI berada di belakang kalian. Jika kalian merasa tidak mampu, ABRI bersedia melatih," kata Sarwo disambut sorak sorai massa.
Ucapan Sarwo Edhie benar-benar dilakukan. RPKAD melatih pemuda-pemuda maupun aktivis ormas antikomunis. Rakyat ikut bangkit melawan PKI.
Merekalah yang kelak menjadi jagal bagi para anggota PKI, atau simpatisan, atau orang yang dituding sebagai PKI. Sejarah kemudian mencatat pembantaian massal terjadi di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Sarwo Edhie mencatat korban tewas tak kurang dari 3 juta orang.
Baca juga:
Jenderal Yani: RPKAD asah pisau komandomu!
Loreng darah mengalir dan celana hijau RPKAD saat tumpas G30S
Komandan RPKAD marah dilucuti Tjakrabirawa di Bali
Kisah konvoi RPKAD dihadang pantat Gerwani
-
Kapan Tarian Gending Sriwijaya resmi ditampilkan? Resmi Ditampilkan Setelah melewati rangkaian percobaan, Tari Gending Sriwijaya resmi dibawakan pada tanggal 2 Agustus 1945 dalam rangka menyambut pejabat Jepang dari Bukittinggi.
-
Apa yang diraih pasangan Prabowo-Gibran di Jawa Tengah? Prabowo-Gibran meraih 53,07 persen suara di Jawa Tengah, adapun Ganjar-Mahfud 34,34 persen.
-
Di mana AMBS Garut berada? Santri-santri lulusan Madrasah Al Mashduqi Boarding School (AMBS) di Kabupaten Garut, Jawa Barat berhasil mewujudkan mimpi mereka melanjutkan studi ke Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir.
-
Apa yang diminta oleh TKN Prabowo-Gibran kepada para relawannya? Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran meminta para relawan mengampanyekan Prabowo-Gibran di seluruh wilayah Indonesia menggunakan cara-cara santun, dan tidak menyerang pribadi Capres Cawapres lainnya.
-
Apa yang tertulis di sisir gading tertua? Pada sisir itu tertulis kalimat “semoga gading ini membasmi kutu dari rambut dan janggut”.
-
Kapan Sumatra Thawalib resmi didirikan? Pada tahun 1918, nama Koperasi Pelajar berubah menjadi Sumatra Thawalib yang dicanangkan oleh Ichwan, El Yunusy, Jalaluddin Thalib, dan Inyiak Mandua Basa pada tahun 1919.