Sederet Catatan Revisi UU Polri, Benarkah Bakal Batasi Aktivitas di Ruang Siber
SAFEnet menilai revisi UU tersebut menjadi berpotensi terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh kepolisian.
Sederet Catatan Revisi UU Polri, Benarkah Bakal Batasi Aktivitas di Ruang Siber
Revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002, seakan menjadi cengkraman kuat kepada kepada warganet apabila nantinya disahkan menjadi UU.
- Menkominfo Didesak Mundur, Puan: Selama Tidak Maksimal, Bisa Dievaluasi Presiden
- Revisi UU Polri: Polisi Bisa Awasi, Menindak dan Memblokir Akses Ruang Siber
- Respons Polri Soal Revisi UU Beri Kewenangan Melakukan Penyadapan dan Galang Intelijen
- Revisi UU Penyiaran: Sengketa Produk Jurnalistik Tidak Lagi Melalui Dewan Pers
Bagaimana tidak, dalam Revisi UU itu, anggota parlemen seakan memberikan sayap yang lebih lebar bagi institusi Bhayangkara dalam melakukan pemblokiran hingga perlambatan akses internet di ruang kepada warganet. Hal itu sebagaimana dalam revisi UU Polri pasla 16 ayat (1)q.
Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar menilai revisi UU tersebut menjadi berpotensi terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh kepolisian.
Sebab tidak ada indikator bagi institusi Bhayangkara melakukan proses pemblokiran apalagi pelambatan internet.
"Kita melihat misalnya di RUU polri indikator apa yang bisa membuat Kepolisian akhirnya bisa melakukan proses penindakan, pemblokiran atau pelambatan akses internet dan ketika melihat rumusannya, Ini memperlihatkan otoriterisme digital di Indonesia," kata Nenden dalam diskusi yang digelar di Jakarta Pusat, Minggu (2/6).
Nenden berujar keberadaan revisi UU itu sama saja dengan membatasi berekspresi masyarakat di jagat maya. Belum lagi pada pasal-pasal UU ITE yang sudah cukup membatasi masyarakat di internet.
"Revisi UU ini akan semakin memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak untuk memperoleh informasi, serta hak warga atas privasi, terutama yang dinikmati di media sosial dan ruang digital," ujar dia.
Dia mencontohkan pada kondisi di Papua pada tahun 2019, di mana masyarakat Papua mengalami keterbatasan mengakses informasi karena diduga ada pemutusan akses internet sepihak.
Lalu pada masa Pandemi Covid-19 di mana banyak masyarakat yang hanya dapat berkomunikasi melalui internet.
"Nah ketika ini dilegitimasi melalui RUU ini akan sangat mungkin upaya-upaya pembungkaman ekspresi ataupun bagaimana masyarakat merespons hal ini akan membuat orang menjadi semakin enggan melakukan kritik, orang menjadi semakin takut melakukan aktivitasnya secara online, padahal kita tahu internet sebagai salah satu alternatif ruang sipil yang seharusnya bisa memberikan kebebasan juga bagi warga," Nenden menandaskan.
Di satu sisi masyarakat bakal menjadi target penghakiman kepolisian. Nenden menganggap akan ada saling tumpang tindih, alih-alih bakal berkoodinasi dengan Kominfo atau lembaga terkait lain.
"Nanti tumpang tindih kewenangan antara Polri, Kominfo termasuk juga BSSN. Nah ini akan menjadi masalah baru selanjutnya ketika memang ada rumusan masalah yang jelas, indikatornya tidak jelas dan tentu saja perluasan kewenangan ini juga perlu kita kritisi lebih lanjut, karena kekhawatiran dalam pemberangusan kebebasan berekspresi akan sangat semakin luas," pungkas dia.