Sekda sebut Sumber Waras seharusnya kembalikan Rp 191 M, bukan DKI
Pemprov DKI masih menunggu surat tebusan hasil pertemuan BPK dan KPK.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum menindak lanjuti rekomendasi hasil pertemuan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal kasus pembelian lahan RS Sumber Waras. KPK dan BPK baru menggelar pertemuan untuk menyamakan persepsi soal tidak ada indikasi korupsi dalam pembelian lahan itu pada Senin (20/6) kemarin.
Sekretaris Daerah Jakarta Saefullah menyatakan belum mengambil keputusan, termasuk rekomendasi BPK soal pengembalian uang yang diduga sebagai kerugian pembelian lahan sebesar Rp 191,3 miliar setelah ada surat tembusan resmi dari 2 lembaga itu.
"Kita belum dapat tembusannya. Kita belum tahu. Nanti kan mungkin ada semacam surat, atau apa, dari KPK, atau BPK. Nanti ya kita sesuai isi surat, harus seperti apa," kata Saefullah di Balai kota, Jakarta, Selasa (21/6).
Saefullah menyebut pihak yang seharusnya mengembalikan uang kerugian pembelian lahan seluas 3,6 hektar adalah Yayasan Kesehatan Sumber Waras bukan Pemprov DKI.
"Yang mengembalikan bukan DKI, yang nerima uang. Tapi itu kalau memang seperti itu. Kita kan tunggu formalnya. Dari KPK atau BPK seperti apa. Nanti kita lihat isinya seperti apa," tegasnya.
Ditambahkannya, uang yang sudah dikembalikan, nantinya akan dimasukkan ke kas daerah. Kemudian, lanjut Saefullah, akan dicatat ke e-budgeting agar dapat digunakan tahun depan.
"Dikembalikan ke kas daerah. Masuk ke sistem anggaran, jadi saldo kita. Dia nanti jadi bagian dari anggaran tahun berikutnya," pungkas dia.
Sebelumnya, dalam pertemuan itu, KPK menyatakan tidak menemukan pidana korupsi dalam kasus pembelian lahan Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) oleh Pemprov DKI Jakarta. Sementara BPK tetap menyatakan telah terjadi penyimpangan dalam proses tersebut. Pengadaan lahan itu dinilai BPK merugikan negara Rp 191,3 miliar.
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 23E Ayat 3, Pemprov DKI Jakarta harus menindaklanjuti Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 yang telah diterbitkan BPK.
"Rp 191,3 miliar harus dikembalikan oleh Pemprov DKI. Jika tidak dikembalikan, ada sanksi pidana 1 tahun 6 bulan," kata Ketua BPK Harry Azhar Azis.
Baca juga:
Soal Sumber Waras, Komisi III DPR akan panggil eks Ketua KPK Ruki
Ketua Komisi III DPR desak KPK respons temuan BPK soal Sumber Waras
Perjuangan BPK buktikan ke KPK proyek Sumber Waras bermasalah
Kritik Fadli Zon ke KPK soal Sumber Waras dinilai bodohi publik
Ini 6 poin hasil rapat BPK-KPK terkait kasus Sumber Waras
-
Bagaimana Kejagung mengusut kasus korupsi impor emas? Di samping melakukan penggeledahan kantor pihak Bea Cukai, tim juga masih secara pararel melakukan penyidikan perkara serupa di PT Aneka Tambang (Antam).
-
Apa yang sedang diusut oleh Kejagung terkait kasus korupsi? Kejagung tengah mengusut kasus dugaan korupsi komoditas emas tahun 2010-2022.
-
Kapan Kejagung mulai mengusut kasus korupsi impor emas? Kejagung tengah mengusut kasus dugaan korupsi komoditas emas tahun 2010-2022.
-
Siapa yang dituduh melakukan korupsi? Jaksa Penuntut Umum (JPU) blak-blakan. Mengantongi bukti perselingkuhan mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL).
-
Apa yang dilimpahkan Kejagung ke Kejari Jaksel dalam kasus korupsi timah? Kejaksaan Agung (Kejagung) melimpahkan tahap II, menyerahkan tersangka dan barang bukti kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 sampai dengan 2022.Adapun yang dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) adalah tersangka Tamron alias Aon (TN) selaku beneficial ownership CV VIP dan PT MCN.
-
Bagaimana Karen Agustiawan melakukan korupsi? Firli menyebut, Karen kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerjasama dengan beberapa produsen dan supplier LNG yang ada di luar negeri di antaranya perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat. Selain itu, pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dalam hal ini Pemerintah tidak dilakukan sama sekali sehingga tindakan Karen tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu.