Seruan damai buat Aceh Singkil
Seruan damai terus digelorakan banyak elemen masyarakat yang prihatin melihat bentrok agama kembali terulang.
Konflik berdarah antar warga hingga pembakaran rumah ibadah di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, beberapa hari lalu membuktikan belum kuatnya toleransi beragama di tanah air. Tentunya ini menjadi perhatian khusus bagi masyarakat dan pemerintah.
Seruan damai terus digelorakan banyak elemen masyarakat yang prihatin melihat bentrok agama kembali terulang. Seharusnya rentetan kejadian perusakan rumah ibadah di Indonesia bisa dijadikan pelajaran penting.
-
Dimana lokasi petani di Aceh yang sedang panen cengkih? Seorang petani menunjukkan segenggam cengkih atau cengkeh yang telah dipetik setelah panen di sebuah hutan di Lhoknga, Aceh, pada 30 Januari 2024.
-
Siapa Abu Bakar Aceh? Abu Bakar Aceh, seorang tokoh intelektual tersohor asal Aceh yang telah melahirkan banyak karya di bidang keagamaan, filsafat, dan kebudayaan.
-
Apa yang dilakukan di Aceh saat Meugang? Mereka pastinya tidak ketinggalan untuk melaksanakan Meugang bersama keluarga, kerabat, bahkan yatim piatu. Tak hanya itu, hampir seluruh daerah Aceh menggelar tradisi tersebut sehingga sudah mengakar dalam masyarakatnya.
-
Kapan wabah Kolera menyerang Aceh? Aceh menjadi salah satu daerah yang terkena wabah virus pada saat Agresi Militer Belanda II.
-
Kapan Desa Panggungharjo dibentuk? Desa Panggungharjo dibentuk berdasarkan maklumat monarki Yogyakarta tahun 1946 yang mengatur tentang tata kalurahan saat itu.
-
Kapan cengkih menjadi komoditas unggulan di Aceh? Komoditas cengkih pernah berjaya dan menjadi komoditas unggulan di Aceh pada era 1980-an.
Peristiwa kelam itu tidak hanya membuat tempat suci menjadi hancur. Banyak juga masyarakat naas terenggut nyawanya akibat konflik ini.
Masalah agama memang menjadi hal sensitif di tengah masyarakat. Dengan pola kehidupan di Indonesia yang mengakui enam agama (Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghuchu), seharusnya menyadarkan masyarakat tentang hidup berdampingan dan saling menghormati.
Pembakaran rumah ibadah di Aceh Singkil tersebut membuat banyak kalangan menyerukan perdamaian. Pemerintah pun bergerak cepat menyelesaikan persoalan ini.
Berikut merdeka.com merangkum seruan meminta konflik Aceh Singkil segera diselesaikan, Kamis (15/10):
Pemerintah diminta bikin tim khusus
Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera menyarankan pemerintah membentuk tim mediasi dan investigasi untuk menyelesaikan insiden pembakaran gereja di Desa Sukamakmur, Kecamatan Gunung Makmur, Aceh Singkil, pada Selasa (13/10) lalu. Itu dilakukan agar insiden tersebut tidak meluas.
"Pemerintah pusat harus bergerak cepat dan segara mungkin menyelesaikannya agar tidak sampai meluas," ujar Presiden PKS M. Sohibul Iman, seperti dilansir Antara, Rabu (14/10).
Pihaknya mengaku prihatin dan menyesalkan insiden yang diduga dilakukan warga itu. Maka itu, PKS berharap polisi dapat mengusut tuntas kasus ini agar segera selesai.
"Pemerintah Daerah setempat dan aparat penegak hukum harus bertindak cepat ini agar tidak meluas ke tempat lain," ucapnya.
Terkait pembentukan tim investigasi, jelas dia, diperlukan agar bisa mendapatkan fakta yang sebenarnya. Ini sekaligus menemukan fakta apa yang terjadi dan motif di belakang insiden tersebut.
Sedangkan tim mediasi, lanjut dia, dibutuhkan karena kasus ini terjadi karena tidak ada komunikasi antar elemen masyarakat yang ada.
"Dengan adanya mediasi maka komunikasi bisa terjalin dan kesalahan-kesalahan dapat terhindarkan, serta tidak terjadi lagi di kemudian hari," katanya.
Tidak itu saja, pihaknya juga mengimbau agar masyarakat tidak terprovokasi karena adanya isu ini, baik di kawasan Aceh maupun daerah-daerah lainnya.
"Kalau masyarakat terprovokasi maka kejadian bukannya diselesaikan, malah akan melebar dan ini sangat jauh dari sifat-sifat masyarakat Indonesia," katanya.
Aceh Singkil diimbau kuatkan toleransi
Jaringan Gusdurian menilai konflik Aceh Singkil menodai persatuan, perdamaian, dan toleransi yang selama ini telah dengan keras diperjuangkan.
"Selain rusaknya tempat ibadah, korban dari kedua belah pihak yang bertikai pun berjatuhan. Sejumlah orang mengalami luka-luka, dan terdapat korban jiwa akibat terkena tembakan. Salah seorang yang menjadi korban tewas adalah seorang warga muslim," kata Seknas Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, dalam siaran pers, Rabu (14/10).
Peristiwa ini, kata dia, menambah catatan aksi intoleransi, pelanggaran hak warga negara yang dijamin konstitusi yakni hak untuk menjalankan ibadah, termasuk hak untuk mendirikan tempat ibadah, di negeri ini.
"Mengutuk dan mengecam keras tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok orang yang mengancam, merusak, dan membakar gereja di Singkil, Aceh," katanya.
Dia meminta aparat melindungi hak beribadah semua warga negara, termasuk kelompok lemah dan minoritas, sesuai dengan amanat konstitusi, sekaligus mencegah terjadinya konflik horizontal.
"Meminta kepada aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas, mengadili pelaku, dan mengungkap dan menangkap para aktor yang merencanakan aksi kekerasan ini," katanya.
Dia mengimbau semua pihak untuk menjaga diri, menjaga toleransi, dan tidak terpancing untuk melakukan kekerasan dan bentrokan selanjutnya yang akan mengakibatkan perpecahan, kekacauan, kerusuhan, dan konflik horisontal yang merugikan masyarakat. Semua pihak perlu untuk selalu mendorong perdamaian dan mengedepankan dialog agar setiap konflik tidak berujung pada kekerasan.
"Meminta kepada semua pihak untuk mengedepankan nilai keadilan dan kedamaian, agar bisa bersikap adil kepada orang lain dan tidak mementingkan kepentingan diri atau kelompoknya saja," katanya.
Tokoh agama harus jadi obat penenang
Ketua Lakpusdam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Rumadi Ahmad turut menyesalkan peristiwa pembakaran dua gereja di Aceh Singkil yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan menimbulkan rasa tidak aman warga.
Kata dia, setelah kasus Tolikara, Papua, kekerasan atas nama agama kembali terulang di Indonesia dalam waktu yang hampir tak berjauhan.Â
"Saya menyesalkan kejadian ini. Peristiwa yang terus berulang. Ini bukan kali pertama. Ini polanya berulang meski isunya dikemas keresahan dan izin tempat ibadah," ungkap Rumadi dalam konferensi pers di Gedung Oikumune, Jl. Salemba Raya, Jakarta Pusat, Selasa (13/10).Â
Kejadian di Aceh Singkil dan Tolikara, kata dia, terjadi menjelang hari keagamaan. Kuat dugaan, ada motif dari pihak tertentu yang sengaja menyebabkan konflik tersebut.Â
"Saya tidak tahu ini kebetulan atau direkayasa. Dari dua peristiwa ini mulai kelihatan hari besar keagamaan dimanfaatkan dengan model seperti ini," papar dia.Â
Melihat dua kasus ini, Rumadi menilai ada satu hal yang kurang dari masyarakat Indonesia, yakni mudah terprovokasi. Sikap seperti itu bagi dia adalah suatu penyakit yang harus segera disembuhkan oleh semua orang terutama para tokoh agama yang secara langsung terlibat dalam pembangunan rohani jemaahnya.Â
"Ini indikasikan masyarakat kita agak kasar, sakit, dalam kaitan provokasi keagamaan. Tokoh agama harus segera sembuhkan penyakit ini. Jika tak bisa diatasi, bukan tidak mungkin akan terjadi di tempat lain, balas dendam," jelas dia.
Prihatin adanya rumah ibadah dibakar
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyayangkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok intoleran di Aceh Singkil yang menyebabkan terbakarnya gereja.Â
Padahal, sebelum kejadian sudah ada kesepakatan terkait pembongkaran terhadap 19 gereja antara pihak Bupati Aceh Singkil, Muspida, Ulama dan juga sejumlah kelompok.Â
"PGI sangat menyesalkan dan prihatin keras tindakan intoleransi yang telah menimbulkan korban jiwa di negara yang jelas menjamin kebebasan beragama," ujar Ketua Umum PGI, Henriette Hutabarat Lebang di Gedung Oikumene, Jl. Salemba Raya, Jakarta Pusat, Selasa(13/10)
Menurut Henriette, terkait adanya upaya pembongkaran terhadap sejumlah gereja tersebut sudah mulai dibahas sebelumnya, dan hasilnya sudah ada, yakni akan dibongkar pada tanggal 19 Oktober 2015.Â
Lebih lanjut dia menjelaskan, dalam kesepakatan itu, waktu yang disediakan berdasarkan hasil pertemuan antara pihak gereja, pemerintah dan sejumlah ulama dan ormas Islam adalah dua minggu.
"Kesepakatan tersebut menyepakati pembongkaran 10 gereja, dan waktunya dua pekan terhitung sejak 19 Oktober nanti. Namun, ternyata sudah terjadi hari ini, dan akhirnya menimbulkan korban jiwa seperti ini," jelasnya.Â
Karena itu dia mendesak pemerintah agar bertindak dengan cepat untuk memberikan kenyamanan bagi masyarakat. Dia juga sangat kecewa dengan langkah aparat kepolisian yang sebenarnya sudah mengetahui indikasi terjadinya aksi ini dua hari sebelumnya.