Setibanya di Indonesia, Samadikun langsung diperiksa Kejagung
Samadikun akan ditanyai perihal uang pengganti yang harus dia bayarkan berdasarkan putusan kasasi pada 2003 silam.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo turut hadir menjemput buronan terpidana kasus korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada Bank Modern, Samadikun Hartono. Mengendarai mobil dinasnya, Toyota Camry bernomor polisi RI 68, dia tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma pada pukul 20.30 WIB.
Prasetyo mengatakan, pihaknya akan langsung melakukan interogasi kepada Samadikun sesampainya di Indonesia. Untuk itu buronan selama 13 tahun ini akan langsung dibawa ke kantor Kejaksaan Agung.
"Kejaksaan dululah kita akan lakukan pemeriksaan kita akan lakukan verifikasi," katanya di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Kamis (21/4).
Nantinya, kata Prasetyo, Samadikun akan ditanyai perihal uang pengganti yang harus dia bayarkan berdasarkan putusan kasasi pada 2003 silam. Sebab berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung atas perkara Samadikun, dia diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 11,9 miliar dan denda sebesar Rp 20 juta.
Prasetyo belum ingin berspekulasi mengenai adanya kemungkinan aset-aset Samadikun dibawa keluar negeri. Untuk itulah diperlukan pemeriksaan lebih lanjut sebelum akhirnya Samadikun akan digiring ke Lapas Salemba, Jakarta Pusat.
"Ya nanti akan kami tanya lagi dan itu yang akan kita bisa tahu ke mana-mana hartanya kan ada aset racing kami kejar harta-hartanya akan kita kejar tentunya dari data-data yang tentunya kita cari lagi dan kita harapkan yang bersangkutan menanti cooperative juga," tutupnya.
Untuk diketahui, selain Jaksa Agung, turut hadir Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah dan Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Adi Toegarisman
Sebelumnya, pada Juni 2003 majelis hakim kasasi memvonis Samadikun empat tahun penjara sekaligus membatalkan putusan hakim PN Jakarta Pusat yang membebaskan terdakwa dari segala tuntutan. Samadikun didakwa menyalahgunakan dana BLBI untuk memperkaya diri sendiri.
Pada 1997, Bank Modern menerima bantuan likuiditas Bank Indonesia sebesar Rp 2,014 triliun. Namun oleh terdakwa dan Presdir Bank Modern saat itu yakni Bambang Triyanto, dana itu justru digunakan membeli promissiory note dari PT Total Central Finance, PT PLN, dan PT Gunung Sewu Kencana sebesar Rp 17,25 miliar. Terdakwa disebut telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 11,9 miliar.