Soal Batas Usia Capres Cawapres, Kenapa Diputuskan MK Padahal Wewenang Pemerintah dan DPR
"MK membuka peluang politik dinasti," kata Bivitri Susanti.
"MK membuka peluang politik dinasti," kata Bivitri Susanti.
Soal Batas Usia Capres Cawapres, Kenapa Diputuskan MK Padahal Wewenang Pemerintah dan DPR
Pakar hukum tata negara sekaligus pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti menilai Mahkamah Konstitusi (MK) kini memberikan peluang politik dinasti, buntut MK yang mengabulkan putusan seseorang yang berusia kurang dari 40 tahun dapat mencalonkan diri jadi capres-cawapres, namun harus ada legitimasi dari masyarakat melalui pemilu atau pilkada.
Ketika dikonfirmasi, menurut Bivitri, Ketua MK saat ini memiliki benturan kepentingan yang luar biasa. Dia mengatakan Ketua MK, Anwar Usman pernah menyebut 'idolanya' adalah sang keponakannya sendiri alias Gibran Rakabuming Raka.
"MK membuka peluang politik dinasti. Kita juga bisa kaitkan dengan posisi Ketua MK yang sebenarnya memiliki benturan kepentingan yang luar biasa terhadap orang yang mengambil keuntungan langsung. Enggak hanya itu, di permohonan nomor 90 itu disebut tuh pemohonnya kan 'idola' saya, Gibran. Ya emang benturan kepentingannya sangat terlihat melalu putusan kemarin," jelas Bivitri Susanti saat dihubungi merdeka.com, Selasa (17/10).
Lebih lanjut, persoalan batasan usia Capres Cawapres seharusnya wewenang DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang. Bivitri mengutarakan, sebetulnya putusan seperti usia capres dan cawapres itu open legal policy.
"MK memang pada dasarnya putusan seperti usia capres dan cawapres itu open legal policy, tapi dia bisa aja dalam legal reasoning-nya mereka bisa membuat argumentasi seandainya mereka memutuskan bahwa memang mereka ambil kewenangan itu sebagai wewenangnya," ungkap Bivitri.
"Jadi masalah bisa atau enggak, ya bisa aja. sepanjang kemarin putusannya mengatur seperti itu dan ada pertimbangan hukumnya. Tapi itu tentu aja sebenarnya tidak bisa begitu karena dia lembaga yudikatif, tapi kalau dia memutuskan seperti itu ya bisa aja," lanjutnya.
Bivitri menjelaskan, open legal policy adalah ketika kebijakan hukum terbuka di mana kewenangan pembentuk undang-undang (UU) tidak berusaha membatasi yang jelas tentang seharusnya materi dalam UU tersebut diatur.
"Jadi MK sendiri sejak 20 tahun yang lalu pernah bilang, urusan-urusan yang bukan konstitusional, kan MK menguji Undang-Undang terhadap konstitusi kan. Jadi kalau dia bukan pertanyaan konstitusional dia akan bilang oh ini bukan wewenangnya MK tapi wewenangnya pembentuk UU, nah itu yang disebut dengan kebijakan hukum terbuka," jelas Bivitri.
Di samping itu, Bivitri berbicara, berdasarkan putusan MK atas batas usia dengan pengecualian tersebut akan sedikit banyak berimplikasi pada instabilitas politik nasional.
"Intinya sih begini, kemarin kan ada tujuh putusan, enam sebenarnya. Putusan yang diterima kan frasa 'pernah menjabat sebagai kepala daerah'. Nah memang menurut saya tiap putusannya legal reasoning-nya sangat-sangat buruk, itu indikasinya dissenting opinion mereka (empat hakim) semua pendapatnya sangat keras," paparnya.
Dia menegaskan, dinasti politik yang berusaha diciptakan elite sangat terlihat, di mana lembaga yudikatif saat ini sedang dipertanyakan akuntabilitas dan legitimasinya.
"Tak hanya satu dimensi, ini dimensi yudikatifnya dibawa-bawa, anak yang satunya juga baru jadi ketua umum partai politik dengan waktu yang sangat instan. Jadi tentu saja citranya sangat buruk, menurut saya ini udah paling buruk lah, membawa lembaga yudikatif juga," pungkasnya.
Reporter magang: Fandra Hardiyon