Soal Hambalang, KPK tak wajib sampaikan persetujuan secara resmi
Presiden juga sudah menyatakan bahwa pemerintah akan mengkaji dulu sebelum memutuskan untuk kelanjutan proyek tersebut.
Kelanjutan nasib mega proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor, Jawa Barat, menemui titik terang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menyetujui jika pemerintah melanjutkan proyek tersebut.
Kendati sudah menyetujui, Pelaksana harian Kabiro Humas KPK, Yuyuk Andriati mengatakan KPK tidak berkewajiban menyampaikan persetujuannya secara resmi ke pemerintah.
"Tidak ada kewajiban KPK untuk menyampaikan persetujuan secara resmi. Presiden juga sudah menyatakan bahwa pemerintah akan mengkaji dulu sebelum memutuskan untuk kelanjutan proyek tersebut," ujar Yuyuk saat dikonfirmasi merdeka.com, Rabu (23/3).
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang mengatakan jika dimungkinkan akan melakukan supervisi dengan pemerintah terkait Hambalang.
"Kalau perlu akan kita supervisi," kata Saut saat dihubungi merdeka.com, Selasa (22/3).
Namun dia masih belum bisa menyampaikan kapan supervisi tersebut bisa direalisasikan terkait proyek Hambalang tersebut. "Ini masih dipelajari," pungkasnya.
Secara terpisah Wakil Ketua KPK lainnya Laode M Syarif berpendapat proyek Hambalang bukanlah aset sitaan KPK oleh sebab itu sah-sah saja jika pemerintah berencana untuk melanjutkan proyek itu lagi. Meski dengan catatan pemerintah harus matang mengkaji matang-matang biaya yang akan dikeluarkan untuk melanjutkan proyek Hambalang termasuk risikonya.
"Pemerintah boleh melanjutkan proyek itu dengan catatan bahwa pemerintah harus melakukan kajian risiko secara menyeluruh oleh instansi atau badan independen agar tidak terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan," kata Laode.
Seperti diketahui, pembangunan proyek sarana prasarana untuk Pusat Pelatihan, Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang masuk pada tahun anggaran 2010-2012 yang dilakukan di atas tanah seluas 32 hektare. Proyek itu dihentikan karena KPK menemukan kasus korupsi.
Menpora saat itu Andi Mallarangeng dan adiknya Choel Mallarangeng menjadi terpidana dan tersangka dalam kasus ini. Andi yang dituntut jaksa 10 tahun penjara, divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta pada Juli 2014 lalu. Putusan itu diperkuat di tingkat banding dan kasasi. Sementara Choel Dalam kasus ini, Choel diduga menyalahgunakan wewenang terkait proyek tersebut. Ia dianggap telah memperkaya diri sendiri dan orang lain, juga korporasi atas perbuatan yang dilakukannya.
Mantan Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora), Wafid Muharam, mengatakan, ada permintaan commitment fee sebesar 15 persen oleh Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel Mallarangeng dari proyek Hambalang. Menurut Wafid, Choel mengatakan, uang itu untuk kakaknya, Andi Alfian Mallarangeng, yang saat itu baru saja menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora).
Kasus ini juga menyeret Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan mantan Direktur Operasional 1 PT Adhi Karya(persero) Teuku Bagus Mukhamad Noor. Anas diduga menerima pemberian hadiah terkait perencanaan, pelaksanaan, dan pembangunan pusat olahraga Hambalang.
Hukuman Anas paling berat. Di tingkat kasasi, dia divonis 14 tahun penjara wajib membayar denda sebesar Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan. Anas juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara. Hak politik Anas pun dicabut. Padahal di tingkat pertama, Anas divonis 8 tahun penjara dan diringankan di tingkat banding menjadi 7 tahun penjara. Sedangkan Teuku Bagus Noor divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 150 juta.