Tarung ujung, pengingat kekejaman Belanda adu domba warga pribumi
Tarung ujung merupakan kesenian dari Mojokerto. Pertarungan ini peninggalan Kerajaan Majapahit dan menjadi pengingat bagi warga akan taktik adu domba era penjajahan Belanda.
Kesenian tarung ujung merupakan kesenian lokal Mojokerto, duel dua petarung memakai sebatang kayu rotan kecil. Keduanya berbalas pukul, dengan diawasi seorang kemlandang (wasit) supaya tidak curang. Kesenian tarung ujung yang dulunya gambaran pertengkaran antarwarga, kini dijadikan sarana mempererat tali silaturahmi masyarakat. Di antara yang masih melestarikan kesenian ini adalah warga Desa Begaga Limo, Kecamatan Gondang, Kabupaten Mojokero, Jatim.
Di pelataran pekarangan rumah berukuran 5 x 5 meter, dua petarung telah bersiap, di hadapan ratusan warga yang mengelilingi arena. Kemlandang berpakaian hitam ada Jawa, memberikan pengarahan aturan permainan, supaya tidak memukul bagian kepala dan kemaluan. Sementara seorang warga membantu kemlandang mengawasi permainan dan menjaga supaya kedua pemain tidak emosi dan bertengkar.
Setelah kemlandang memberikan aba-aba, tarung dimulai. Secara bergantian, pemain memukulkan sebatang rotan kecil berukuran satu meter ke tubuh lawan. Sang lawan berusaha menangkis pukulan menggunakan rotan yang sama, supaya tidak mengenai tubuhnya. Tak jarang tangkisan gagal membendung sabetan rotan hingga melukai kulit punggung atau perut pemain hingga bercucuran darah.
Alunan gending gamelan yang mengiringi kesenian tarung ujung, membuat para pemain tak merasakan sakit meski tubuhnya penuh luka. Bahkan para pemain sering kali saling ejek lewat mimik muka atau senyuman, yang membuat para penonton sontak tertawa.
"Kesenian tarung ujung ini merupakan peninggalan nenek moyang sejak zaman Majapahit. Tarung ujung juga sebagai pengingat kekejaman penjajahan zaman Belanda yang waktu itu mengadu domba warga pribumi, hingga masyarakat saling bertengkar bahkan berkelahi. Tapi sekarang ini, kesenian tarung ujung dijadikan sarana meningkatkan tali persaudaraan antar warga, dan tidak boleh ada dendam antar pemain usai tarung," kata Karnoko, kemlandang yang juga tokoh masyarakat Desa Begagan Limo, Kamis (11/5).
Menurut Karnoko, kesenian tarung ujung boleh diikuti siapa pun yang berani. Tidak hanya warga Desa setempat, tapi boleh warga dari manapun yang siap bertarung dan mau mengikuti aturan. Sebelum masuk arena, pemain dipilih yang imbang dan ditanya kesediaanya.
"Tua, muda semuanya boleh ikut tarung ujung, asalkan berani, mau mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan kemlandang," terang Karnoko.
Para petarung ujung diberikan upah panitia sebagai ganti uang transportasi. Usai bermain, upah diberikan pada masing masing pemain.
"Setiap tarung, masing masing pemain diperbolehkan melakukan pukul masing masing lima kali, lalu kemlandang menghentikan permainan dan diganti pemain yang lainnya. Uang transpor yang diberikan setiap pukul Rp 5 ribu, satu pemain mendapat Rp 25 ribu. Kecuali tarung Bangilan, adu pukul tanpa telak, upahnya Rp 50 ribu setiap pemain," jelasnya.
Sang pemain pun mengaku senang mengikuti seni tarung ujung, lantaran ingin melestarikan kesenian Jawa. Meski tubuhnya penuh luka, namun tidak merasa sakit, dan tidak pernah dendam pada lawan tarung.
"Ini untuk melestarikan kesenian Jawa yang mulai hilang. Saya kena pukulan rotan beberapa kali, ini sampai luka dan berdarah, tidak sakit. setelah selesai yang sudah, tidak pernah ada dendam pada lawan saja," ucap Putut (46), petarung ujung sambil tertawa.
Sementara Agung, petarung ujung yang lain mengatakan, baru pertama kali ikut tarung ujung. Dia berharap kesenian ini harus tetap dilestarikan karena ini kesenian peninggalan nenek moyang, dan sekarang ini tidak banyak generasi muda yang mengetahui dan mau menjaganya.
"Baru kali ini saya ikut tarung, tadi lawan saya juga baru pertama ikut. Saya kena pukulan memar satu kali di punggung, tapi tidak sakit. kesenian ini harus tetap dijaga, supaya generasi muda tahu dan mau menjaga dan melestarikannya," kata Agung (26) warga Desa Begagan Limo.
-
Apa yang ditemukan di hutan jati Mojokerto? Di kawasan hutan jati tersebut ditemukan sejumlah benda yang diduga peninggalan era kerajaan, seperti pecahan cangkir gerabah, bata merah, hingga cerupak (lampu ublik kuno).
-
Apa yang dulunya disebut Begraafplaatsen Mojokerto? Mengutip Instagram @ceritamojokerto, bangunan ini dulunya dikenal dengan nama Begraafplaatsen Mojokerto atau gerbang pemakaman di Mojokerto. Nama lain dari gapura ini adalah Sekar Putih.
-
Apa yang membuat terowongan di Mojokerto ini misterius? YouTuber Cakra Panorama menyebut lorong tak berujung ini mirip terowongan Hamas di Palestina.
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
-
Siapa yang membawa Soekarno ke Mojokerto? Pada tahun 1907, Soekarno dan keluarganya pindah ke Kota Mojokerto. Sang ayah, Raden Soekemi mendapatkan tugas baru menjadi mantri guru (kepala sekolah) di Sekolah Ongko Loro.
-
Di mana lokasi Gapura Sekar Putih di Mojokerto? Persisnya, Begraafplaatsen Mojokerto berada di Mergelo, Kelurahan Kedundung, Kecamatan Magersari, Kota Mojokerto.