Tolak jadi tim sukses di Pilkada Bekasi, 28 mahasiswa di drop out
Tolak jadi tim sukses di Pilkada Bekasi, 28 mahasiswa di drop out. Pasca SK pemberhentian diterima beberapa langkah dilakukan salah satunya melaporkan ke Kemenristedikti, Komnas HAM, KPU pusat, dan Bawaslu. "Dari Kemenristek Dikti enggak ada tanggapan. Komnas HAM sudah dikasih surat juga enggak ada tanggapan," ujarnya.
Perlakuan diskriminatif menimpa 28 mahasiswa di tiga kampus berbeda, yakni STIE Tribuana, STT Mitra Karya dan STMIK Mitra Karya yang dinaungi satu yayasan, di Kabupaten Bekasi. Mereka di drop out dari kampusnya gara-gara menolak ajakan untuk menjadi tim sukses terhadap pasangan calon nomor urut satu pada Pilkada Bekasi.
Pasangan nomor urut satu dengan calon Bupati Meilina Kartika Kadir serta calon wakil Bupati Abdul Kholik itu diketahui merupakan pasangan yang maju pada Pilkada Bekasi pada 15 Februari lalu. Tapi pasangan ini kalah pada Pilkada serentak tersebut oleh petahana.
Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan pihak kampus ini kemudian dibawa ke jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, pada Rabu (22/3). Ada 15 perwakilan mahasiswa yang didampingi salah satu orang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Gugatan itu masuk ke PTUN dengan nomor registrasi 41/G/2017/PTUN-BDG.
"Kita menggugat kampus ini agar bisa menarik surat drop out yang dilakukan pihak kampus pada mahasiswa ini. Penolakan yang dilakukan teman-teman ini adalah benar. Sedangkan sikap kampus salah," kata Alldo Fellix Januardy perwakilan dari LBH Jakarta saat ditemui di PTUN Bandung, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Rabu (22/3).
Menurutnya hak pendidikan itu adalah hal yang harus dilindungi Undang-Undang Dasar. "Tapi teman-teman di sini tidak dihargai dan malah ingin mendikte," ujarnya.
Zainudin salah satu mahasiswa yang mengalami perlakuan tidak mengenakan itu menuturkan, kejadian terbitnya Surat Keputusan (SK) drop out itu bermula ketika para mahasiswa menolak perintah oknum yayasan pengelola kampus untuk jadi tim sukses relawan semut hitam. Relawan itu merupakan bagian dari timses pasangan nomor urut satu.
"Kami dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan kesediaan menjadi relawan dan juga membagi-bagikan kalender bergambar wajah pasangan calon tersebut," kata Zainudin mahasiswa semester lima jurusan Manajemen tersebut.
Ada yang menerima, tapi ada juga yang menolak. Bagi yang menolak konsekuensinya saat itu yakni tidak akan diberikan kartu kepesertaan UAS. Tidak mau didikte begitu saja akhirnya protes dilakukan dengan mengadakan aksi unjuk rasa pada 9-10 Desember di luar lingkungan kampus.
"Kami menyebarkan selebaran tolak politisasi kampus dan intimidasi mahasiswa," imbuh dia yang merupakan Presiden BEM STIE Tribuana tersebut. Ternyata unjuk rasa yang dilakukan sejumlah mahasiswa itu direspon dengan penerbitan SK pemberhentian.
Menurutnya SK yang dikeluarkan pada 16 Januari tersebut ditempelkan di papan informasi kampus tanpa melalui pembuktian resmi pelanggaran apa yang diberikan. Bahka 15 mahasiswa menerima salinan SK itu dari grup WhatsApp.
"Kami ada yang SK drop out itu pada 16 Januari. Ada yang via WhatsApp. Enggak ada surat tertulis. Kita mau konfirmasi bagaimana lagi. Mediasi benar-benar enggak diterima," jelasnya dengan penuh kesal.
Pasca SK pemberhentian diterima beberapa langkah dilakukan salah satunya melaporkan ke Kemenristedikti, Komnas HAM, KPU pusat, dan Bawaslu. "Dari Kemenristek Dikti enggak ada tanggapan. Komnas HAM sudah dikasih surat juga enggak ada tanggapan," terangnya.
Cara satu-satunya adalah menggugat perkara itu ke PTUN. Dari 28 yang dinyatakan drop out, 15 di antaranya masih terus berjuang. "Karena sisanya sudah ada yang pulang ke rumah," pungkas Zainudin.