Tradisi-tradisi unik jelang Idul Adha di Indonesia
Berikut ini tradisi-tradisi unik jelang Idul Adha yang dirangkum merdeka.com dari berbagai sumber:
Perayaan Idul Adha tahun ini memang tidak serentak. Sebagian umat Islam di Indonesia ada yang sudah menggelar salat Idul Adha hari ini, misalnya anggota organisasi keagamaan Muhammadiyah dan organisasi keagamaan lainnya.
Namun sebagian besar umat baru menggelar salat Id pada Minggu (05/10), ini sesuai dengan hasil sidang isbat pemerintah serta pengikut organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU).
Namun tulisan ini tidak membahas tentang perbedaan perayaan Idul Adha, melainkan tentang tradisi-tradisi unik masyarakat Indonesia menjelang bulan haji tersebut.
Berikut ini tradisi-tradisi unik jelang Idul Adha yang dirangkum merdeka.com dari berbagai sumber:
-
Apa yang dilakukan saat Idul Adha? Idul Adha termasuk salah satu hari raya besar yang diperingati oleh masyarakat Muslim di seluruh dunia. Ini disebut juga dengan hari raya haji atau hari raya kurban. Sebab, Idul Adha bertepatan dengan momentum ibadah haji dan ritual penyembelihan kurban yang dilakukan umat Muslim.
-
Apa yang dimaksud dengan sidang isbat Idul Adha? Sidang isbat Idul Adha adalah proses menentukan atau menetapkan awal bulan Zulhijah dalam kalender Hijriyah.
-
Idul Adha itu apa? Idul Adha juga dikenal dengan sebutan Hari Raya Kurban, di mana umat muslim melaksanakan ibadah penyembelihan hewan di setiap perayaan ini.
-
Dimana sidang isbat Idul Adha diadakan? Sidang isbat dilakukan dengan merujuk pada hasil rukyatul hilal, di mana pelaksanaannya berada pada titik di seluruh Indonesia.
-
Kapan Idul Adha dirayakan? Idul Adha yang dikenal juga sebagai Hari Raya Kurban adalah salah satu hari besar dalam kalender Islam yang dirayakan dengan penuh makna oleh umat Muslim di seluruh dunia.
-
Kapan puasa Idul Adha dilakukan? Puasa sunah menjelang Idul Adha, dapat dilakukan pada tanggal 1 hingga 7 Dzulhijjah, tanggal 8 Dzulhijjah untuk puasa Tarwiyah, dan tanggal 9 Dzulhijjah untuk puasa Arafah.
Tradisi Apitan warga Semarang
Menjelang Idul Adha, warga Kelurahan Sampangan, Kota Semarang, Jawa Tengah memiliki tradisi unik, yakni sedekah bumi Apitan dengan mengarak tumpeng dan hasil bumi di jalan raya. Tradisi ini berlangsung turun temurun sampai sekarang.
Tujuannya merupakan wujud ungkapan syukur kepada sang pencipta, Allah AWT atas limpahan rizki kepada warga. Bentuk syukur itu disimbolkan dengan arak-arakan hasil bumi yang disusun bertumpuk, misalnya; padi, cabe, terong, jagung, tomat dan lainnya.
Arak-arakan ini berujung di kantor kelurahan setempat. Di tempat ini prosesi tradisi Apitan selesai ditandai dengan pembacaan doa bagi keselamatan warga.
Di akhir acara, warga berebut gunungan hasil bumi yang baru saja selesai diarak. Warga percaya mendapatkan beraneka jenis hasil bumi yang baru saja diarak akan mendatangkan berkah.
Tradisi Manten Sapi di Pasuruan
Di Pasuruan, Jawa Timur, juga ada tradisi yang tidak kalah unik. Tradisi yang sudah turun temurun digelar saban menjelang Idul Adha ini biasa dilakukan warga Desa Wates Tani, Kecamatan Grati. Warga menyebutnya "Manten Sapi" atau pengantin sapi.
Tradisi ini digelar sehari menjelang Idul Adha dan merupakan cara warga setempat untuk menghormati hewan kurban yang akan disembelih. Layaknya mantenan atau pernikahan, sapi-sapi ini akan dirias secantik mungkin.
Sapi akan dikalungi hiasan bunga tujuh rupa agar terlihat cantik atau tampan layaknya pengantin. Tubuh mereka kemudian diselubungi kain putih. Setelah prosesi menghias selesai, sapi-sapi itu diarak ratusan warga menuju masjid untuk diserahkan ke panitia kurban.
Tak lupa pula, ratusan ibu-ibu pun juga meramaikan dengan membawa peralatan rumah tangga serta bumbu untuk persiapan saat penyembelihan sapi.
Tradisi jemur kasur di Banyuwangi
Di sebelah timur Pasuruan, tepatnya di Kabupaten Banyuwangi, juga ada tradisi unik jelang Idul Adha, yakni tradisi menjemur kasur. Tradisi ini digelar untuk menolak bala dan menjaga keharmonisan rumah tangga.
Tarian gandrung mengawali rangkaian tradisi jemur kasur yang setiap tahun digelar warga Desa Adat Using, Kemiren. Saban mendekati Idul Adha pada bulan Dzulhijjah warga setempat menggelar tradisi menjemur kasur secara masal.
Berbeda pada umumnya, kasur warga Using Kemiren ini seluruhnya berwarna hitam dan merah atau biasa disebut kasur gembil. Bagi warga setempat, kasur gembil mempunyai makna tersendiri, yaitu warna hitam melambangkan langgeng dan merah berarti berani.
Tradisi yang sudah ada sejak ratusan tahun ini selain untuk membersihkan kasur setelah selama setahun terakhir dipakai, juga untuk menghormati datangnya bulan haji.
Tradisi mudik warga Madura
Di Madura, Jawa Timur, tradisi unik adalah mudik atau pulang kampung menjelang Idul Adha. Bagi warga Pulau Garam, tradisi mudik memang bukan saat Idul Fitri seperti warga di tempat lain, melainkan menjelang Idul Adha.
Tradisi mudik menjelang Idul Adha ini nampak di Pelabuhan Perak di Surabaya dan di Jembatan Suramadu. Warga berjubel antre menyeberang di pelabuhan dan jembatan terpanjang di Indonesia itu.
Misalnya saat libur panjang Idul Adha tahun ini. Warga Madura yang berada di Surabaya dan sekitarnya memanfaatkan dengan pulang kampung dan merayakannya bersama keluarga. Pada Kamis (02/10) malam, ratusan bikers (pengendara sepeda motor) sudah memadati Jembatan Suramadu.
Grebeg Gunungan rayakan Idul Adha di Yogyakarta
Tradisi Grebeg Gunungan ini biasa digelar Keraton Yogyakarta setiap menjelang Idul Adha. Ritual tersebut sudah menjadi tradisi tahunan bagi kraton. Dengan dikawal prajurit dan dua ekor kuda, tiga buah gunungan grebeg diarak terlebih dahulu dari kraton melewati alun-alun utara menuju masjid.
Setelah dibacakan doa, tiga buah gunungan yang terdiri dari 1 gunungan lanang dan 2 gunungan putri tersebut diperebutkan oleh warga yang hadir. Konon katanya gunungan yang nantinya akan diperebutkan bisa mendatangkan berkah.
Adalah mbok Supiyem, warga Kota Gede yang sengaja datang ke grebeg bersama anaknya untuk mengikuti rayahan gunungan. Dia mengaku setiap tahun selalu mengikuti ritual tersebut. Namun baru kali ini dia berhasil mendapatkan berkat bantuan anaknya.
Berbeda dengan Mbok Supiyem, Nuraini, mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta yang ikut dalam rayahan mengatakan hanya sebatas ikut-ikutan saja. Dia dan dua orang temannya datang mengikuti grabeg gunungan semata-mata karena untuk mengisi liburan saja.