Warga Gunung Balu Bantul Tolak Pendirian Gereja di Wilayahnya
Warga Gunung Balu Bantul Tolak Pendirian Gereja di Wilayahnya. Warga menyebut jika izin Gereja adalah izin sebagai rumah tinggal bukan sebagai rumah ibadah.
Warga RT 34, Gunung Bulu, Bandut Lor, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul menolak pendirian Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu yang ada di wilayahnya. Penolakan warga ini karena menilai pendirian gereja tersebut tanpa seizin warga.
Selain itu, warga menyebut jika izin Gereja adalah izin sebagai rumah tinggal bukan sebagai rumah ibadah. Salah seorang warga Gunung Bulu, Hanif Suprapto (46) mengatakan jika warga menolak pendirian Gereja Pantekosta yang dilakukan oleh Pendeta Tigor Yunus Sitorus (49) di wilayahnya.
-
Apa yang diusulkan BNPT terkait tempat ibadah? Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengusulkan dilakukan pengawasan atau kontrol terhadap tempat-tempat ibadah yang ada di Indonesia.
-
Apa saja jenis tempat wisata religi yang ada di Bangka Belitung? Wilayah yang terdiri dari beberapa pulau ini terkenal dengan ragam destinasi wisata yang menarik untuk di kunjungi. Simak beberapa spot wisatanya berikut ini. Pulau Sumatra bukan hanya kaya dengan hasil alamnya saja, tetapi juga potensi pariwisatanya yang besar juga ada di tempat ini. Meskipun Danau Toba menjadi ikon pariwisata Sumatra, bukan berarti spot wisata lainnya tidak menarik untuk dikunjungi.
-
Kapan Masjid Pecinan Tinggi Banten dibangun? Tahun pembangunan diperkirakan pada 1552, atau empat tahun sebelum pendirian Masjid Agung Banten lama pada 1556.
-
Kapan ibadah haji dilakukan? Pelaksanaan ibadah haji dilakukan setiap satu tahun sekali dan selalu memiliki jumlah jemaah yang banyak dan berasal dari seluruh penjuru dunia.
-
Di mana letak Masjid Agung Banten? Masjid Agung Banten menjadi destinasi religi utama yang ada di provinsi tersebut.
-
Dimana Masjid Agung Bangkalan di bangun? Masjid Agung Bangkalan dibangun pada tahun 1819.
Hanif menyebut hal itu sesuai kesepakatan warga dengan Sitorus di tahun 2003. Saat itu Sitorus telah menandatangani surat kesepakatan berisi pendirian bangunan yang dilakukannya adalah untuk rumah tinggal.
Hanif menegaskan jika saat ini pendirian rumah ibadah yang dilakukan oleh Sitorus telah melanggar kesepakatan warga. Hanif juga menuding jika Sitorus telah mengkhianati warga.
Hanif mengatakan bahwa aktivitas Sitorus dengan rumah ibadahnya telah mengusik ketentraman warga. Terlebih, mayoritas warga Gunung Bulu memeluk agama Islam.
"Mayoritas warga Gunung Bulu beragama Islam. Warga merasa terusik dengan aktivitas ibadah itu," tegas Hanif.
Sementara itu, Ketua RT 34, Syamsuri (52) mengatakan jika ditahun 2003, Sitorus telah menandatangani surat pernyataan. Dalam surat itu Sitorus telah mengatakan jika tanah yang dibelinya akan digunakan sebagai rumah tinggal bukan sebagai rumah ibadah.
Surat kesepakatan itu disebut Syamsuri ditandatangani Sitorus pada 10 April 2003 yang lalu. Dalam surat tersebut adapula tandatangan dari Ketua RT 34, Kepala Dusun, Kepala Kelurahan, Kepala Kecamatan, Kapolsek dan Danramil lengkap dengan stempel dari lembaga masing-masing.
"Ini cukup meresahkan. Pak Sitorus menjadikan rumah ibadah tanpa sepengetahuan kami. Menurut kami, Bapak Sitorus telah mengkhianati kesepakatan bersama warga," urai Syamsuri.
Syamsuri menuturkan jika berdasarkan hasil rapat RT, warga keberatan dengan pendirian rumah ibadah yang dilakukan oleh Sitorus. Warga, lanjut Syamsuri, ingin agar rumah milik Sitorus kembali dijadikan rumah tinggal dan bukan menjadi rumah ibadah.
"Warga ingin rumah tempat Pak Sitorus tetap menjadi rumah tinggal. Itu keinginan warga," urai Syamsuri.
Sementara itu, Sitorus menerangkan jika dirinya membeli tanah di Gunung Bulu pada tahun 2003. Di awal pembelian, Sitorus mengaku memang ingin mendirikan rumah ibadah di atas tanah yang dibelinya.
Sitorus mengungkapkan jika tahun 2003 yang lalu dirinya memang telah membangun rumah ibadah. Hanya saja sebelum bangunan rumah ibadah rampung, bangunan tersebut dirusak oleh orang tak dikenal.
Usai peristiwa tersebut, Sitorus pun menyebut jika dirinya diminta hadir di Kantor Kelurahan untuk mediasi dengan warga. Kemudian lahirlah surat kesepakatan antara dirinya dengan warga.
Hanya saja menurut Sitorus saat menandatangani kesepakatan tersebut dirinya berada dalam kondisi yang terpaksa. Selain itu surat kesepakatan yang disodorkan kepadanya bukan dibuat oleh dirinya. Sitorus mengaku hanya menandatangani dan tak pernah membuat surat tersebut.
"Saya terpaksa menandatanganinya. Surat itu bukan saya yang membuatnya. Saya hanya disuruh menandatanganinya. Hingga saat ini saya belum pernah mendapatkan kopiannya (surat pernyataan yang ditandatangani Sitorus)," ungkap Sitorus.
Babak baru dari pendirian rumah ibadah yang dilakukan oleh Sitorus dimulai pada tahun 2017. Ditahun itu, Sitorus mengajukan pemutihan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah tinggalnya menjadi rumah ibadah. Pengajuan IMB ini sesuai dengan Peraturan Bupati (Perbub) Kabupaten Bantul Nomor 98 Tahun 2016 tentang pedoman pendirian tempat ibadah.
Mengajukan sejak 2017, IMB baru turun di tahun 2019 pada bulan Januari. IMB pendirian Gereja Pantekosta itu terregister dengan nomor 0116/DPMPT/212/I/Januari dengan tanggal dikeluarkan 15 Januari 2019. Dalam IMB itu bangunan milik Sitorus tersebut tertulis nama Gereja Pantekosta di Indonesia Immanuel Sedayu.
Usai mendapatkan IMB tersebut, Sitorus pun menggelar ibadah secara terbuka. Bersama 50 orang jemaahnya, Sitorus setiap hari Minggu pagi menggelar ibadah.
"Mulai dipakai untuk ibadah sekitar bulan April 2019. Jumlah jemaah saat ini ada 50 orang dari berbagai daerah seperti Papua, Sumba, Kalimantan maupun Sumatera. Kebanyakan jemaah adalah mahasiswa," tutup
Baca juga:false
2 Tempat Ibadah Ini Jadi Simbol Mesranya Seabad Kerukunan Umat Beragama di Malang
Keindahan 5 Masjid Pink dari Berbagai Negara, Termasuk Indonesia
5 Alasan Notre Dame Paris Sangat Penting Bagi Prancis
Umrah Kali Ini, Presiden Jokowi Berkesempatan Masuk ke Dalam Kabah
Melihat dari Dekat Tokyo Camii, Tempat Syahrini dan Reino Barack Menikah
Tiga Strategi PSI Lawan Intoleransi di Indonesia