Warung Kumpul tak lagi jadi tempat berkumpul
Warung Kumpul dibuka tahun 1950-an. Kala itu setiap hari warung yang berada di tengah Kota Purbalingga ini selalu ramai oleh tawa dan obrolan ringan para penikmat tembakau. Usaha dagang secara turun temurun ini sekarang dikelola Gunawan. Dia berharap anaknya ada yang bersedia meneruskan.
Warung Kumpul didirikan oleh Nya (singkatan dari Nyonya) Kumpul, bibi Gunawan, tahun 1950-an. Warung ini terletak persis di tengah Kota Purbalingga, telah dijalankan secara turun temurun dua generasi. Di masa tuanya, Gunawan punya harapan, kelak salah satu putranya akan meneruskan.
"Saya sudah tua. Tapi masih punya mimpi, warung ini ramai seperti dulu. Tetap berjualan tembakau, saya ingin mengembangkan kedai kopi, boleh nanti mereka mencoba beberapa tembakau gratis untuk dilinting," ujar Gunawan.
Toko Tembakau Kumpul memang memiliki tata ruang khas menyerupai warung kopi. Di ruang utama toko ini, terdapat meja berukuran 3x1 meter. Dahulu di meja ini beberapa orang terutama pedagang pasar biasa berkumpul, saling bercerita sembari memilih dan menikmati berbagai contoh jenis tembakau. Sedang di samping meja, beberapa jenis tembakau disimpan dalam stoples yang ditata berjajar dalam etalase kayu.
Tetapi sejak akhir tahun 80-an, Gunawan bercerita meja tersebut sudah jarang dijamah para pembeli tembakau. Kegiatan melinting atau memilin tembakau sembari menaburi cengkeh dan menyan secara berkelompok, dinilai Gunawan dipandang tak lagi praktis bagi banyak orang. Orang-orang di sekitaran kota Purbalingga, mulai beralih ke produk rokok pabrikan.
Tak mudah memang membuktikan, apakah masifnya produk rokok pabrikan mengubah perubahan sosial masyarakat yang semula organik lantas menjadi mekanik. Gunawan berpandangan, nilai praktis rokok pabrikan membuat beberapa orang meninggalkan kebiasaan mbako. Pasalnya menikmati rokok pabrikan tidak membutuhkan keterampilan khusus (direpotkan) untuk melinting. Produsen pun melakukan peracikan tertentu bahkan pendekatan kimia lantas mengemasnya siap saji.
"Nilai kepraktisan itu mungkin salah satunya. Harga rokok pabrikan juga saya kira terjangkau, meski jauh lebih murah mbako, mungkin itu yang menyebabkan perubahan. Kepraktisan itu yang menarik pembeli dalam jumlah besar," nilai Gunawan yang juga pensiunan guru dan berlatar pendidikan guru lulusan Universitas Sanata Dharma ini.
Kenyataannya, meski peminat tembakau tak lagi seramai dulu, Gunawan tetap bertahan. Ia menaruh percaya, tembakau masih diminati kalangan tertentu yakni beberapa warga di pelosok desa yang mayoritas buruh tani. Tembakau yang ia jual sampai saat ini juga lebih banyak diserap oleh warung-warung di beberapa desa di Purbalingga yang sebulan sekali rutin ia kirim.
"Padahal menurut saya, tembakau murni lebih nyaman karena tidak ada perlakuan kimia. Juga lebih murah daripada rokok pabrikan. Kalau di desa, situasinya sama seperti di warung ini dulu. Orang-orang kumpul di halaman, bareng-bareng ngelinting tembakau. Gelar kloso, udud mbako," kata Gunawan.
Mendengar cerita Gunawan yang makin lirih, Warung Tembakau Kumpul, nama yang merujuk pada padanan makna bersama-sama atau kelompok yang tak terpisah, seakan telah kehilangan maknanya. Gunawan berkata, kini usianya memasuki kepala tujuh sedang orang-orang yang 46 tahun silam biasa berkumpul di warungnya rata-rata berusia 50 sampai 60 tahun kala itu.
"Saya tidak tahu keberadaan mereka saat ini. Saya sendiri sudah tua begini, apalagi mereka," katanya.
-
Kapan Prabowo tiba di Sumatera Barat? Calon Presiden (Capres) nomor urut 2 Prabowo Subianto tiba di Bandara Internasional Minangkabau (BIM) Padang Pariaman pada Sabtu (9/12) pagi.
-
Di mana kebun stroberi di Purbalingga berada? Salah satu kebun stroberi itu berada di Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga.
-
Kapan Jalur Lingkar Barat Purwakarta dibangun? Sebelum dibangun jalan lingkar pada 2013, Kecamatan Sukasari yang berada paling ujung di Kabupaten Purwakarta aksesnya tidak layak.
-
Apa yang dimaksud dengan Telok Abang di Palembang? Dalam bahasa Palembang, telok diartikan telur dan abang artinya merah. Artinya secara keseluruhan, Telok Abang merupakan telur rebus yang cangkangnya diberi warna merah.
-
Kapan Purnawarman meninggal? Purnawarman meninggal tahun 434 M.
-
Kapan Desa Panggungharjo dibentuk? Desa Panggungharjo dibentuk berdasarkan maklumat monarki Yogyakarta tahun 1946 yang mengatur tentang tata kalurahan saat itu.
Pojok yang dilupakan
Kaki (sebutan bagi lelaki tua) Kaman sudah agak bungkuk ketika ditemui merdeka.com di daerah Kutasari, Kabupaten Purbalingga. Pria berusia 73 tahun ini, dahulu sempat berdagang di Pasar Kota Purbalingga. Ia bercerita, puluhan tahun lalu, kadangkala memang ikut duduk-duduk melepas penat di warung Tembakau kumpul.
Kala itu, ia bercerita, sangat menyukai mbako jenis Garangan asal Wonosobo yang berbentuk kotak dan mesti dirontokkan kecil-kecil sebelum ditaburkan ke daun kawung. Mbako Garangan sendiri adalah tembakau yang proses pengeringannya dengan cara dipanasi api dari bahan kayu. Menurut kesaksiannya, di warung kumpul mbako garangan jadi idola, serta beberapa orang memang ramai berkumpul untuk saling menikmati udud mbako sembari mengobrol ngalor ngidul.
"Toko yang dipojok, ya masih ingat. Dulu sering ngudud di sana," kata Kaman.
Ditanya tentang ketertarikannya ngudud mbako di warung kumpul, Kaman menjawab singkat karena bisa bertemu dengan teman-teman pedagang lain. Ngudud sembari ngobrol, ia akui menyenangkan menghilangkan kebosanan berdagang sayuran di pinggiran jalan. Dari obrolan kadang ada cerita-cerita lucu yang membuat suasana jadi makin santai.
Hanya saja, di tahun 80-an Kaman lalu beralih berjualan kasur ikut saudaranya dari daerah Bobotsari ke Jakarta. Berkeliling jualan kasur, ia mengaku tak ngudud mbako lagi karena merasa sungkan. Menurutnya bau mbako yang kadang ia campur dengan menyan dan cengkeh terlalu menyengat.
"Berhenti ngudud susah. Saya pindah ke rokok batangan," katanya.
Kaman saat ini sudah menganggur dan hidup ditopang anak-anaknya. Ia tak lagi ngudud mbako, sebagai gantinya beralih ke rokok kretek pabrikan. Ia mengatakan, sudah cocok dengan rokok pabrikan yang menurutnya tidak repot dicari. Ditanya apakah dia tidak kangen dengan suasana di warung kumpul yang pernah jadi bagian hidupnya, Kaman hanya tersenyum.
Terpisah, Thomas (80), pemilik Toko Surabaya, tengah memasukkan remah-remah kemenyan ke dalam plastik saat ditemui merdeka.com, Rabu (26/4). Di tokonya yang berjarak 200 meter dari Toko Tembakau Kumpul, Thomas juga berjualan tembakau sejak tahun 1965. Ia mengatakan penikmat Mbako semakin berkurang. Apalagi sejak pemerintah gencar melakukan kampanye pelarangan merokok.
"Paling petani yang beli, diantar cucunya. Tembakau yang sering dibeli, jenis Meranggen untuk susur. Sama Boyolali," katanya lirih.
Ditanya tentang Warung Tembakau Kumpul di masa silam, ia membenarkan dahulu sangat ramai. Pasalnya, posisi toko Kumpul strategis berhadapan dengan pasar. Apalagi toko kumpul memang dikenal sejak lama, khusus berjualan berbagai jenis tembakau.
"Saya sudah tidak ingat secara persis. Karena umur sudah 80 tahun lebih. Pendengaran juga berkurang," katanya.
Nampaknya pembeli mbako baik di warung Tembakau Kumpul atau pun warung Surabaya saat ini, tidak terikat dengan keriuhan publik masa silam. Salah satu pembeli mbako, Aziz (64) yang ditemui di Warung Kumpul hari Rabu (26/4) mengaku tak tahu menahu dengan situasi keramaian warung tersebut puluhan tahun silam. Ia hanya mengatakan, sekitar tahun 80-an masih seringkali melihat orang-orang di pasar ngudud mbako dicampur menyan.
"Dulu saya di Jakarta. Di Purbalingga, sejak tahun 80. Baru satu tahun ini saya beli mbako lagi," kata Aziz yang menenteng pastik hitam berisi mbako campuran yang ia beli dari Warung Tembakau Kumpul.
Baca juga:
Senjakala ngudud mbako
Udud Mbako perekat sosial
Mengenang kejayaan toko tembakau tertua di Purbalingga