YLBHI: 48 Persen Pelaku Kasus Pelanggaran Hak Berekspresi Adalah Aparat Negara
Asfinawati menambahkan, sebagian besar pelanggaran hak berekspresi dan berpendapat dilakukan oleh aktor atau aparat negara. Dia menyebutkan, kepolisian RI menjadi aktor pelaku pelanggaran utama.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat 48 persen dari 351 kasus pelanggaran hak berekspresi dan berpendapat di Indonesia dilakukan oleh aktor atau aparat negara.
Direktur YLBHI, Asfinawati mengungkapkan,351 pelanggaran hak dan kebebasan sipil itu didominasi oleh pelanggaran hak berekspresi serta menyatakan pendapat di muka umum.
-
Apa yang ditemukan di Terowongan Yerkapi, Hattusha? Hieroglif berusia 3.500 ribu tahun ditemukan di Terowongan Yerkapi, Hattusa, bekas ibu kota Kekaisarisan Het.
-
Apa yang dikerjasamakan oleh PKBH FH UMY dan PTUN Yogyakarta? Penandatanganan MoU dan Perjanjian Kerja Sama antara Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (PKBH FH UMY) dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta tentang Pemberian Layanan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di PTUN Yogyakarta.
-
Kenapa HS menipu para korban? Dengan bekal kemampuan las, para korban dijanjikan iming-iming bekerja di Korea. Sayang, iming-iming itu pada akhirnya hanyalah sebuah janji palsu.
-
Kapan UTBK dilakukan? Setiap pelajar yang yang mendaftar jalur SNBT harus mengikuti UTBK untuk menentukan lolos atau tidak di PTN pilihannya.
-
Apa arti kata "YKK" di resleting? YKK ternyata merupakan merek resleting ternama asal Jepang. YKK merupakan kepanjangan dari Yoshida Kogyo Kabushikikaisha, yang berarti PT. Yoshida Industri.
-
Kapan HUT Korps Marinir TNI AL diperingati? Setiap tanggal 15 November diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Korps Marinir TNI AL.
Berdasarkan catatan YLBHI dan kantor-kantor LBH di seluruh Indonesia, pelanggaran terhadap hak berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum, meliputi pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan, pelanggaran hak menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa, pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara digital, pelanggaran hak mencari dan menyampaikan informasi, serta pelanggaran terhadap data pribadi.
"Hak-hak yang dilanggar terbanyak yakni hak kebebasan berpendapat atau berekspresi lisan yang mencapai 26 persen. Disusul hak sipil lainnya yakni demonstrasi 25 persen, lalu terkait perlindungan data pribadi 16 persen, dan mencari dan menyampaikan informasi 16 persen," katanya kepada merdeka.com, Selasa (16/2).
Asfinawati menambahkan, sebagian besar pelanggaran hak berekspresi dan berpendapat dilakukan oleh aktor atau aparat negara. Dia menyebutkan, kepolisian RI menjadi aktor pelaku pelanggaran utama.
Dia menyebut, ada pula keterlibatan militer. Sementara aktor non-negara mengambil porsi kecil dari seluruh pelanggaran yang terjadi.
"Dimana tampak keterlibatan institusi pendidikan dan ormas tertentu. Rinciannya, 48,16 persen pelaku pelanggaran hak berekspresi merupakan aparat negara, lalu 28,09 persen pelaku non aparat negara, dan sisanya 23,75 persen keduanya," ujarnya.
Sementara itu, kriminalisasi menempati urutan tertinggi dari modus pelanggaran hak berpendapat dan berekspresi hingga mencapai 52 persen. Lalu cyber bullying 6 persen, pembubaran paksa 9 persen.
"Lalu ancaman pemberian sanksi 18 persen, tidak diberikan hak informasi 12 persen, Pelanggaran KKB dan peretasan serta konten asusila tanpa izin hanya 2 persen," terang Asfinawati.
Selain itu, YLBHI mencatat, terdapat 48.565 orang dari 22 kasus pelanggaran hak politik. Modus pelanggaran politik tertinggi yakni modus menyembunyikan naskah kebijakan publik atau diskriminasi dalam partisipasi yang mencapai 40 persen. Disusul modus kriminalisasi yang mencapai 33 persen.
"Modus pelanggaran hak politik yang paling sedikit itu ijon politik hanya mencapai 7 persen, dan pembubaran aksi 20 persen dan pelakunya 50 persen negara dan on negara, 31,8 persen pelaku negara, dan 18,18 persen non negara," ungkapnya.
Dengan begitu, YLBHI dan 18 lembaga pegiat demokrasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia mendesak presiden Jokowi untuk mengevaluasi secara menyeluruh implementasi UU ITE. Termasuk mendorong aparat untuk memiliki pemahaman dan perspektif hak asasi manusia dan profesionalitas dalam menangani setiap perkara UU ITE.
Mereka juga mendesak Presiden Jokowi dan DPR RI untuk merevisi ketentuan hukum acara pidana dalam UU ITE agar dapat menjamin adanya fair trial dan sinkronisasi dengan perubahan KUHAP ke depan. Salah satunya memperkuat judicial scrutiny atau izin pengadilan untuk melakukan upaya paksa.
"Desakan kepada Presiden Jokowi dan DPR RI untuk merevisi ketentuan mengenai kewenangan pemerintah eksekutif yang terlalu besar untuk melakukan pemutusan akses elektronik sebagaimana diatur dalam UU ITE," kata Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu.
Sebelumnya, Koalisi juga sudah mendesak presiden Jokowi untuk merealisasikan pernyataan yang disampaikan untuk melakukan revisi UU ITE dan mencabut seluruh pasal karet yang kerap kali menjadi alat mengkriminalisasi ekspresi dan pendapat oleh masyarakat.
Baca juga:
676 Kasus UU ITE Berakhir di Jeruji Besi
Jokowi Singgung Keadilan di UU ITE, PAN Bandingkan Kasus Baiq Nuril dan Abu Janda
Menunggu Langkah Konkret Jokowi Revisi UU ITE
LBH Jakarta Khawatir Jokowi Hanya Retorika Politik Soal Revisi UU ITE
Kompolnas Ingin Polri Utamakan Mediasi saat Tangani Laporan Kasus UU ITE
UU ITE Perlu Dirombak Total