YLKI Minta Konsumen Tak Asal Sebar Keluhan di Media Sosial, Singgung soal Ancaman Hukum
Masyarakat diminta untuk tidak main asal menyebarluaskan atau viral di media sosial apabila menerima barang/jasa tidak sesuai dan ingin mengajukan keluhan.
Masyarakat diimbau untuk tidak sembarangan menyebarkan informasi atau membuat hal-hal menjadi viral di media sosial jika mereka menerima barang atau jasa yang tidak sesuai dan ingin mengajukan keluhan.
Langkah ini diambil agar permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan baik tanpa menimbulkan konsekuensi hukum bagi konsumen.
- Jangan Anggap Sepele Angin Duduk, Kenali Gejala dan Penyebabnya Menurut Medis
- Begal HP Sepasang Kekasih di Warteg Jelambar Akhirnya Diciduk
- Tolak Kerjakan Tugas Temannya, Siswa SMP di Batu Malang Ini Malah Dikeroyok Hingga Tewas
- Tampil Beda Tanpa Ajak Bayangkari, Momen Polisi Naik Pangkat Ajak Sang Ibu Ini Viral
"Media sosial sebaiknya dijadikan pilihan terakhir jika penyelesaian secara internal tidak berhasil," ungkap Rio Priambodo, Ketua Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dalam kutipan Rabu (25/9/2024).
Rio menjelaskan bahwa terdapat beberapa tahapan yang perlu dilalui konsumen sebelum memutuskan untuk mengunggah keluhan di media sosial. Tahapan pertama adalah mengajukan keluhan melalui saluran resmi, seperti hotline atau layanan pelanggan melalui nomor pengaduan atau akun media sosial.
Dia menekankan bahwa langkah ini sangat penting untuk diambil terlebih dahulu agar permasalahan dapat diselesaikan dengan baik dan tidak semakin rumit. Selain itu, pengaduan kepada layanan internal perusahaan juga akan diverifikasi oleh lembaga konsumen, termasuk YLKI, jika menerima laporan dari masyarakat.
"Melaporkan kepada internal perusahaan adalah langkah yang paling krusial. Bahkan jika YLKI menerima pengaduan, kami akan menanyakan apakah sudah ada komunikasi dengan pihak usaha terkait? Apakah konsumen sudah melakukan pengaduan kepada pelaku usaha? Hal ini perlu diklarifikasi untuk memastikan adanya check and balance," tuturnya.
Rio menambahkan bahwa jika konsumen sudah mengajukan keluhan namun tidak mendapatkan respon atau penyelesaian yang memuaskan, barulah mereka dapat mempertimbangkan untuk menyebarkan informasi tersebut di media sosial atau melanjutkan ke tahap arbitrase.
"YLKI juga pernah menangani beberapa kasus di mana pelaku usaha menggugat balik karena konsumen tidak mengikuti prosedur yang benar dan memilih untuk viral terlebih dahulu," tambahnya.
Konsekuensi Hukum
Rio menyatakan bahwa YLKI tidak ingin dampak hukum yang merugikan setiap konsumen yang mengajukan keluhan terkait produk atau jasa. Dia menambahkan bahwa menyebarkan masalah di media sosial dapat dilihat oleh pelaku usaha sebagai komplikasi tersendiri.
"Oleh karena itu, langkah awal ini sangat krusial agar konsumen tidak mengambil langkah yang salah, sebelum akhirnya situasi meningkat ke tahap yang lebih serius, yaitu pengadilan, dan alternatif terakhir adalah media sosial," ujarnya.
Advokat LKBH FH UPN Veteran Jakarta, Amodra Mahardika, menjelaskan bahwa pengaduan terhadap pelaku usaha harus didasarkan pada bukti-bukti yang kuat. Ia menambahkan bahwa fakta-fakta ini dapat diunggah ke internet jika pengaduan tidak mendapatkan respons dari pelaku usaha.
"Jika sudah mengajukan keluhan sebanyak tiga kali dan tidak ada tanggapan, barulah kita bisa mempertimbangkan untuk mengunggah di media sosial. Memang ini memerlukan waktu, tetapi itu perlu dilakukan," jelasnya.
Amodra juga menekankan bahwa unggahan di media sosial harus menggunakan bahasa yang sopan dan tidak merendahkan pelaku usaha. Dia melanjutkan bahwa aduan di media sosial bisa menjadi cara cepat bagi konsumen untuk mendapatkan keadilan, tetapi langkah ini tidak selalu diterima dengan baik oleh pelaku usaha.
"Memang hak tersebut perlu diperjuangkan, tetapi harus dilakukan dengan cara yang sesuai atau mengikuti SOP (standar operasional prosedur), sehingga media sosial menjadi pilihan terakhir," tuturnya.
YLKI Menyebut Kebijakan Subsidi KRL Jabodetabek yang Berdasarkan NIK Sebagai Tindakan yang Tidak Masuk Akal!
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik rencana pemerintah yang ingin mengubah skema subsidi KRL Jabodetabek dengan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Rencana ini dianggap tidak tepat dan bahkan mengada-ada.
Agus Suyatno, Pengurus Harian YLKI, menyatakan bahwa kebijakan tersebut tidak layak untuk diterapkan.
"Penggunaan NIK dalam distribusi subsidi KRL adalah kebijakan yang aneh dan tidak masuk akal menurut YLKI," ungkap Agus kepada Liputan6.com, Jumat (30/8/2024).
Dia juga berpendapat bahwa kebijakan ini akan sulit untuk diimplementasikan dan berpotensi menyebabkan kekacauan di kalangan pengguna layanan.
"Selain sulit diterapkan di lapangan, ada kemungkinan besar akan terjadi kekacauan," tegasnya. Agus menambahkan, jika tujuan pemerintah adalah untuk menaikkan tarif, seharusnya mereka secara jelas mengkomunikasikan rencana tersebut agar sosialisasi dapat dilakukan dengan tepat.
Kemungkinan Ancaman
Dia merasa prihatin terhadap skema yang dijadikan pilihan tersebut. Ia khawatir akan adanya dua tarif yang berbeda, padahal masyarakat menggunakan layanan yang sama.
"Jika pemerintah, dalam hal ini Kemenhub, berencana untuk menyesuaikan tarif, sebaiknya disampaikan secara transparan bahwa akan ada perubahan tarif, daripada menerapkan sistem dengan dua tarif yang berbeda," ujarnya.
"Satu menggunakan NIK dan mendapatkan subsidi, sementara yang lainnya tidak. Ini adalah satu jenis layanan dan moda, tetapi dengan tarif yang berbeda, yang justru bisa membingungkan konsumen," tambahnya.