DPR Kritik Kebijakan Kemasan Polos Tanpa Merek untuk Produk Tembakau: Mengancam Anggaran Negara
Mukhamad Misbakhun, mengkritik wacana kebijakan kemasan polos tanpa merek atau plain packaging bagi produk tembakau.
Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengkritik wacana kebijakan kemasan polos tanpa merek atau plain packaging bagi produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).
Rancangan tersebut sebagai produk turunan hukum dari PP 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Misbakhun menilai, kebijakan tersebut bukan hanya tak konstitusional, tetapi juga merugikan kepentingan nasional.
- DPR Minta Kemenkes Tinjau Ulang Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek, Begini Alasannya
- DPR: Wacana Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Diskriminatif & Tak Sejalan dengan Konstitusi
- Wacana Kemasan Rokok Polos, Bisa Bikin Gelombang Lanjutan PHK
- Menengok Dampak Wacana Aturan Rokok Kemasan Polos ke Petani dan Pengusaha
Misbakhun mengungkapkan, rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam menerapkan kemasan polos bagi produk tembakau akan berdampak langsung pada negara.
Terutama dari sisi perekenomian, di mana sejauh ini cukai hasil tembakau (CHT) diklaim telah menyumbang hingga Rp300 triliun terhadap negara.
“Dampak ekonomi yang signifikan ini malah menjadi sesuatu yang luput untuk dilihat oleh para pemangku kebijakan, sehingga saya melihat ini adalah pendekatan yang tidak seimbang. Rokok menyumbang Rp300 triliun kepada negara setiap tahunnya, itu sangat signifikan untuk anggaran nasional kita,” ujar Misbakhun, Senin (9/9).
Misbakhun mempertanyakan bagaimana kebijakan kemasan polos itu bisa dipertimbangkan untuk masuk dalam RPMK. Padahal secara jelas kebijakan tersebut mengabaikan kepentingan petani dan pedagang yang bergantung pada industri hasil tembakau.
Misbakhun pun mengkritisi bagaimana penggodokan kebijakan ini menjadi bentuk dorongan dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebuah kesepakatan segelintir negara-negara sebagai bentuk pengendalian tembakau.
Misbakhun mempertanyakan pihak yang mendorong kebijakan sarat polemik ini.
“Yang mengganggu itu apa sih? FCTC. Mereka inilah yang melakukan determinasi untuk memberikan global influence. Mereka disponsori oleh siapa? Ada yang namanya Bloomberg Philanthropies, yang selalu melihat rokok itu dalam tataran negatif,” tegas Politikus Golkar ini.
Banyak Tergantung Industri Tembakau
Misbakhun melanjutkan, Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan seharusnya berani mengambil sikap untuk mengedepankan dan melindungi petani, pedagang, segala macam roda ekonomi yang berjalan dan menggantungkan diri pada industri tembakau.
Seperti diketahui, petani tembakau dan pedagang kecil adalah bagian dari ekosistem ekonomi kerakyatan yang sejatinya membutuhkan dukungan dan kehadiran pemerintah agar dapat terus bertahan di masa sulit ini.
Bahkan dari porsi anggaran saja, kalangan petani tembakau dan cengkih, misalnya, tidak pernah diberi alokasi secara khusus oleh pemerintah untuk membantu perkembangan ekonomi mereka.
Tidak ada insentif maupun subsidi untuk pupuk atau pestisida yang bisa digunakan petani tembakau untuk bisa membantu kesejahteraan petani.
“Kita sering lupa untuk memperhitungkan aspek ekonomi. Negara mendapatkan pendapatan besar dari cukai tembakau, sekitar Rp300 triliun setiap tahun, dan sektor ini juga mempekerjakan banyak orang. Namun, tidak ada satu pun dukungan konkret,” ungkapnya.
Menurut Misbakhun, kebijakan kemasan polos tanpa merek yang diusulkan pun tidak akan efektif dalam mengurangi konsumsi rokok. Sebab, beragam data berdasarkan pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan kemasan polos tidak berpengaruh dalam mengurangi konsumsi rokok.
Justru, ini akan mendorong peredaran rokok ilegal yang tidak terdata dan merugikan negara dari penerimaan cukai produk legal. Lebih lanjut, Misbakhun menilai, rencana untuk menghilangkan merek rokok dan hanya menggunakan kemasan polos menjadi wacana yang tidak rasional.
Kurang Efektif dan Bukan Solusi
Karena menghapus merek rokok dan hanya menggunakan kemasan polos yang seragam dan generik akan membuat pengawasan dan penegakan hukum menjadi semakin sulit.
“Bea Cukai tidak dirancang untuk menangani masalah ini. Standardisasi kemasan polos mungkin bagus untuk perdebatan, tapi kurang efektif jika diterapkan secara langsung tanpa dukungan yang jelas,” kata Misbakhun.
Apalagi, selama ini kampanye kesehatan tidak pernah berhasil secara signifikan membantu para perokok untuk berhenti. Jika pemerintah terus menggunakan cara yang sama tanpa memperhatikan aspek ekonomi dan penegakan hukum, ia khawatir yang terjadi hanya meningkatnya rokok ilegal dan kerugian negara yang lebih besar.
Sebagai penutup, Misbakhun menegaskan, perlunya pendekatan yang berimbang dalam kebijakan tembakau, yang juga turut mempertimbangkan dampak ekonomi dan tata kelola yang baik.
Kebijakan yang hanya fokus pada satu aspek tanpa mempertimbangkan keseluruhan dampak akan selalu menghadapi masalah. Menurutnya, pengendalian tembakau melalui aturan yang terlampau ketat terbukti tidak pernah membuahkan hasil yang diharapkan.
“Puluhan tahun kita mencoba cara yang sama. Kenapa kita masih menggunakan hal yang sama? Cara yang sama tapi ingin hasilnya berbeda. Akhirnya yang terjadi itu adalah rokok ilegal, dan ini disangkal sepenuhnya oleh pemerintah. Maka dari itu menurut saya, PP yang membatasi ini, ini tidak bagus di sektor industri dan ekonomi,” papar dia.