DPR Minta Jokowi Tak 'Lempar Bola' ke Masyarakat Soal Hukuman Mati Koruptor
Anggota komisi III DPR RI Syarifuddin Sudding menilai, apabila pemerintah benar berniat untuk menghukum mati koruptor, maka pemerintah lah yang harus inisiatif mengajukan revisi UU.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi membuka peluang adanya revisi Undang-undang yang mengatur tentang hukuman mati bagi koruptor. Asalkan, usulan tersebut datang dari rakyat.
Anggota komisi III DPR RI Syarifuddin Sudding menilai, apabila pemerintah benar berniat untuk menghukum mati koruptor, maka pemerintah lah yang harus inisiatif mengajukan revisi UU.
-
Kapan Lukman Hakim meninggal? Lukman Hakim meninggal di Bonn pada 20 Agustus 1966.
-
Siapa yang menjatuhkan hukuman? Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat menyatakan bahwa terdakwa Muhammad Ammar Akbar, yang dikenal sebagai Ammar Zoni, secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana membeli atau menguasai narkotika golongan 1 tanpa hak atau melawan hukum.
-
Kenapa karmin kontroversial? Meskipun dibuat dari bahan alami, namun pewarna karmin tidak lepas dari kontroversi.
-
Kapan Choirul Huda meninggal? Ia bertabrakan dengan rekan satu timnya pada Liga 1 2017 silam saat melawan Semen Padang.
-
Apa isi dari gugatan terhadap Presiden Jokowi? Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Kapan bintang-bintang mati? Setiap Tahun, Ada Segini Bintang yang Mati di Galaksi Bima Sakti Bintang pun bisa hancur setiap tahunnya dan melakukan "regenerasi". Komposisi bintang di langit terus berganti seiring dengan perkembangan waktu.
"Kalau misalnya Pak Jokowi menerapkan hukuman mati koruptor, suruh minta ajukan UU-nya gitu," katanya di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (10/12).
Dia mengingatkan, pemerintah lah yang berhak menginisiasi, bukannya menyerahkan pada masyarakat.
"Jangan melempar kepada masyarakat. Yang menginisiasi undang undang itu kan pemerintah. Kalau jokowi sudah merasa apa namanya mendesak memberlakukan hukuman mati ya pemerintah, presiden menginisiasi UU.Masyarakat tidak punya hak inisiasi untuk mengajukan pembahasan uu, salah Pak Jokowi," jelasnya.
Politisi PAN itu mempertanyakan keseriusan pernyataan Jokowi tersebut. Sebab saat ini dalam UU koruptor yang bisa dihukum mati hanya sebatas koruptor dana bencana alam.
"Bagaimana mau menerapkan hukuman mati terhadap para koruptor sementara UUnya belum memberikan ruang untuk memberlakukan hukuman mati, hanya persoalan penyalahgunaan dana bantuan bencana alam. Hanya sebatas itu. Jadi (wacana hukuman mati) sebatas pidato (Jokowi) saja," tutupnya.
Jokowi Sebatas Pidato Saja
Sudding menilai pernyataan Jokowi itu hanya sebatas pidato alias wacana. Sebab, ia menyebut apabila pemerintah benar berniat untuk menghukum mati koruptor, maka pemerintah lah yang harus inisiatif mengajukan revisi UU.
"Saya kira hanya sebatas pidato saja," katanya.
Dia mengingatkan pemerintah lah yang berhak menginisiasi revisi UU, bukannya menyerahkan pada masyarakat.
"Jangan melempar kepada masyarakat. Yang menginisiasi undang undang itu kan pemerintah. Kalau jokowi sudah merasa apa namanya mendesak memberlakukan hukuman mati ya pemerintah, presiden menginisiasi UU.Masyarakat tidak punya hak inisiasi untuk mengajukan pembahasan uu, salah Pak Jokowi," jelasnya.
Anggota Komisi III itu mempertanyakan keseriusan pernyataan Jokowi tersebut. Sebab saat ini dalam UU koruptor yang bisa dihukum mati hanya sebatas koruptor dana bencana alam.
"Bagaimana mau menerapkan hukuman mati terhadap para koruptor sementara UUnya belum memberikan ruang untuk memberlakukan hukuman mati, hanya persoalan penyalahgunaan dana bantuan bencana alam. Hanya sebatas itu," tutupnya.
Sebelumnya,Jokowi menyebut aturan yang mengatur tentang hukuman mati bagi koruptor bisa masuk dalam Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor.
"Itu dimasukkan (ke RUU Tipikor), tapi sekali lagi juga tergantung yang ada di legislatif," ujarnya.
PPP: Lihat Dulu Kasusnya
Sekjen PPP Arsul Sani angkat bicara mengenai wacana tersebut. Menurutnya, tidak semua kasus korupsi bisa diganjar hukuman mati. Harus ada pertimbangan besarnya kerugian negara hingga peran seseorang dalam sebuah kasus korupsi.
"Kita juga harus adil, yang dikorupsi seberapa, perannya dia apa, sebab dia masuk kasus korupsi, banyak yang nggak tahu apa-apa," katanya.
Dia mencontohkan kasus kepala daerah korupsi namun yang terkena tidak hanya kepala daerah melainkan juga ajudan dan orang dekat lain.
"Contoh, misalnya dia ajudan kepala daerah, dia disuruh mengantarkan uang suap untuk DPRD, dia nggak tahu dealnya apa. Tetapi, begitu kena OTT kan dia kena juga. Dalam hukum namanya turut serta atau nggak minimal membantu melakukan. Nah yg kayak begini kan nggak mungkin juga dihukum mati ataupun dihukum berat," jelasnya.
"Kita harus lihat case per case," tambah Arsul.
Dia mengakui dalam hukum Indonesia memungkinkan adanya hukuman mati bagi koruptor, tapi dengan catatan kasus bencana alam dan kasus yang terbatas.
"Jadi, rezim hukum pemberantasan korupsi kita memang memungkinkan untuk membuka untuk kemungkinan dijatuhkannya vonis pidana mati. Tapi kasus korupsi apa? Kasus yang merugikan keuangan negara saat terjadi bencana, dikorupsi uang bencana. Kemudian dalam keadaan krisis ekonomi kok masih juga dikorupsi, kan dalam terbatas," tutupnya.
Arsul mengingatkan fokus Indonesia bukan menghukum mati koruptor tapi menambah berat hukuman.
Reporter: Delvira Hutabarat
Sumber: Liputan6.com