Medan Tempur Baru Koalisi Prabowo: Taklukkan Jateng-Banten-Jatim, Kalah di Jakarta dan Bali
Manuver Prabowo makin masif memastikan jagoan-jagoan KIM merebut daerah-daerah strategis.
Kemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres berdampak pada politik Pilkada 2024. Prabowo sebagai pemegang komando Koalisi Indonesia Maju (KIM) berupaya menyatukan seluruh kekuatan nasional. Salah satunya lewat Pilkada 2024.
Prabowo mengajak partai luar koalisi KIM untuk bekerjasama di Pilkada. Terbentuk lah gerbong KIM Plus, gabungan partai-partai pendukung plus lawan politik Prabowo-Gibran di Pilpres.
Manuver Prabowo makin masif memastikan jagoan-jagoan KIM merebut daerah-daerah strategis. Beredar luas video hingga surat Prabowo yang secara terang-terangan mengendorse sejumlah kepala daerah demi membantu pemenangan mereka. Belum lagi dukungan
Mulai dari dukungan Prabowo kepada Andra Soni-Dimyati Natakusumah di Pilkada Banten, Ahmad Luthfi-Taj Yasin di Jateng dan Ridwan Kamil-Suswono di Jakarta.
Namun, target Prabowo menggiring KIM dari koalisi pusat hingga daerah Pilkada tidak selalu berjalan mulus. Sebab acapkali, koalisi yang terkristal di tingkat pusat pada Pilpres tidak akan terjadi di daerah.
Hal ini lantaran situasi dan peta politiknya berbeda. Ditambah adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam UU Pilkada yang mengizinkan partai-partai mencalonkan kader tanpa harus memiliki kursi di DPRD.
Di beberapa daerah Pilkada, KIM Plus pun pecah. Misalnya, Golkar yang menjadi bagian KIM berkoalisi dengan PDIP mengusung Airin-Ade di Pilkada Banten. Contoh lainnya di Pilkada Sumsel, kader Gerindra Eddy Santana berduet dengan Rizky Aprilia PDIP. Di Jawa Tengah, Gerindra juga bersekutu dengan PDIP di Pilkada Klaten, Sukoharjo, Magelang dan Banyumas
Merdeka.com mewawancarai Koordinator Nasional (Kornas) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Rendy NS Umboh mengenai pengaruh Prabowo terhadap peta politik Pilkada. Kami juga mengulas analisis dukungan Prabowo terhadap para paslon kepala daerah hingga dampaknya terhadap demokrasi.
1. Bagaimana pengaruh politik Presiden Prabowo dalam mengendorse sejumlah calon kepala daerah bakal berpengaruh terhadap keterpilihan di masyarakat?
Ya jelas pengaruh, dia kan presiden sekarang. Yang jelas pengaruh seperti Jokowi tadi. Jadi, sebenarnya ketika jadi presiden masalahnya enggak pengaruh, dia pasti mau pengaruhi semua dong. Termasuk psikologi masyarakat.
Pemilu baru selesai. 2024 baru Februari kemarin. Suaranya kan sedikit besar ya, 58%. Jadi, psikologi masyarakat di tingkatan menengah ke bawah itu pasti sangat dipengaruhi oleh siapa presiden yang mengundi dan kebijakan-kebijakan ke depan.
Jadi harus dipikir juga, menangnya kemarin Prabowo-Gibran soal kebijakan kan? Soal program-programnya. Misalnya makan siang gratis. Artinya presiden Prabowo terhadap paslon pasti pengaruhi.
2. Konsolidasi Pilkada berbeda dengan koalisi di Pusat. KIM Plus Bersatu di berbagai daerah, tapi banyak juga yang terpecah di daerah lain. Dengan kondisi ini, berarti pemimpin di tingkat pusat khususnya KIM, tidak sepenuhnya all out di daerah dan menyerahkan sepenuhnya ke pimpinan level daerah?
Jadi sebenarnya begini, hakikatnya demokrasi pilkada langsung ini kan seharusnya demokratis, tapi memang bukan soal Kim Plus dan bukan. Nah itu karena kita sudah paradigma dipolah dan dikelola semacam Kim Plus lawan Jong Kim Plus, ya kan? Itu lah sebenarnya semangatnya kemarin kita juga memperjuangkan bahwa putusan mahkamah konstitusi yang threshold pilkada itu diturunkan.
Itu kita follow up dengan aksi, demo, segala macam, sehingga harus dikawal supaya memberi ruang dan peluang kepada yang lain. Karena kemarin kan seolah-olah akan di kotak kosongkan semua, kan? Jadi ketika ketika threshold itu dibuka oleh putusan MK kemarin peluang partai-partai lain itu langsung bisa mencalonkan kan? Nah, jadi disitulah figur atau kandidat yang memegang peranan penting, akhirnya mencalonkan figur yang bagus.
Di situlah koalisi-koalisi besar semacam Kim Plus di daerah itu yang mau calon tunggal, kan? Nah, itu berpindah jalan karena melihat potensi kemenangan dengan mengusung kandidat-kandidat tertentu, ya kan? Yang menurut mereka figur bagus. Artinya begini demokrasi itu harus yang begitu semestinya. Artinya rakyat disuguhkan dengan berbagai alternatif pilihan figur, calon kepala daerah yang tentunya melalui seleksi yang panjang.
Apakah seleksi dari internal partai politik, seleksi di masyarakat, ya kan? Makanya, kan, ada survei-survei elektabilitas itu untuk mengukur banyaknya kandidat-kandidat yang berpotensi atau berpeluang untuk menjadi calon kepala daerah kemarin. Artinya memang demokrasi harus berjalan demikian yang terbaik yang dicalonkan oleh partai politik.
Jangan misalnya mencalonkan siapa saja, yang penting menang dengan cara kotak kosong. Itu semangat yang kita punya kemarin. Artinya di daerah ini mau dia terpecah atau tidak, sebenarnya masyarakat kan yang menentukan elite-elite politik kadang-kadang apalagi di tingkat Kabupaten Kota, ya. Persoalan di nasional, misalnya koalisinya demikian. Tapi di daerah, belum tentu begitu.
3. Kenapa Presiden Prabowo sampai harus turun mengajak calon-calon kepala daerah KIM? Kepanikan elektabilitas paslon KIM yang stagnan atau menurun?
Sekarang kan kalau kita mengomentari ini kan, daerahnya harus ada, karena ini kan 508 kabupaten/kota Kota 37 provinsi, harus kita spesifik.
4. Kalau yang sama RK sendiri gimana?
Betul kalau RK jelas, karena apa? RK kan problematik sebenarnya. RK itu dia lebih pede maju di Jawa Barat, karena kemarin lawan-lawannya misalnya waktu proses awal mencalon ada Anies lah, dan lain sebagainya, tapi karena skenario misalnya calon tunggal kemarin gencar, RK diyakinkan untuk ke DKI. Sebetulnya kan RK enggak ada, misalnya dia akan menang kalau dia calon tunggal, itu logikanya. Kalau disuruh milih dia masih satu periode di Jawa Barat, jadi jelas ketika mendekati dirasa bahwa kurang ini.
Ya ternyata RK ini saya lihat kan dia memilih di Bandung, Suswono memilih di Bogor, yang model-model begitu pasti dikelola oleh tim lawan, pasangan calon lawan dalam kampanye kemarin. Sehingga kalau kasus DKI RK, mereka kan ada survei-survei internal, dan bisa dilihat bahwa masyarakat elektabilitas mereka di DKI kurang, apalagi misalnya dari awal ada Anies Baswedan di kubu Pram-Rano, dari awal deket di Car Free Day, kemudian akhirnya kemarin semakin intens dan menyatakan bahwa mendukung.
Itu kan soal-soal psikologi, yang mempengaruhi psikologi masyarakat, psikologi elite politik tapi mempengaruhi masyarakat. Seolah-olah mengatakan bahwa ini loh yang misalnya masih militan mendukung Anies kemarin, bisa ke Pram. Sementara Ridwan Kamil dan pasangannya, dia lebih kental di Jawa Barat. Beda halnya kalau tidak ada lawan, kalau lawannya hanya calon independen yang Dharma-Kun.
Jadi artinya begini kalau lawannya itu, bahkan kotak kosong pun sebenarnya calon tunggal kemarin kan ada rada-rada takut Ridwan Kamil sebelum berpasangan dengan Suswono ya karena bisa jadi kotak kosong yang menang. Oleh karena itu, ada skenario calon tunggal, nah itu udah lewat.
Tapi dari studi yang saya sampaikan tadi, hari ini adalah ekspresi dari studi kita itu. Dari penalaran kita itu, backgroundnya, sehingga Pramono-Rano juga enggak terlalu populer, itu enggak begitu di Jakarta kan sebenarnya, notenya bukan semacam Anies Baswedan sama Ahok kan. Publik berharapkan identitas Ahok sama Anies, tapi Pramono yang muncul. Artinya begini, polarisasi suara pascapemilu 2024 Februari kemarin di DKI itu masih terasa.
Kedua, figur-figur itu ternyata menentukan. Jadi Ridwan Kamil figur bagus tapi dinilai kurang ketika dia tinggal di bukan orang Jakarta. Yang seperti-seperti itu dikelola di masyarakat, itu kita sering wawancara juga ke orang-orang yang di bawah soal kualitasnya, soal calon-calon. Jadi kembali ke pertanyaan tadi, misalnya apa pengaruh, ya sebetulnya pengaruh, tapi khusus DKI itu kan agak terlambat.
Beda dengan Banten, Banten itu langsung kader Gerindra, yang maju dan tingkatnya melejit. Kalau di DKI seperti itu, lalu di Jateng, itu sudah percampuran karena ada Jokowi situ kan. Saya baca-baca media juga, kadang-kadang orang mengasumsikan itu pertarungan Jokowi sama Mega kan. Nah sementara kita tahu bahwa hasil pemilu 2024 kemarin yang tanggal 14 Februari dimenangkan oleh Prabowo. Padahal Ganjar waktu itu di situ ya, gubernur. Artinya sebenarnya Jateng itu, ternyata pengaruh Jokowi masih signifikan, ditambah juga yang Prabowo kemarin.
5. Apa dukungan presiden ke calon kepala daerah ancaman bagi demokrasi Indonesia?
Kalau kita komentar lagi ini kan jadi semacam kita yang tendensius. Jadi argumentasi hukum soal itu saya udah berikan komprehensif ke teman-teman media, sangat komprehensif. Artinya begini, kita kembalikan ke masyarakat sebenarnya, memang desain model demokrasi kita kan seperti ini, jadi masyarakat yang memilih. Oleh karena itu, sebenarnya banyak larangan-larangan dalam UU pilkada.
Banyak larang termasuk dengan pengerahan birokrasi di bawah-bawah itu kan sebenarnya kita di daerah udah paham itu ada dari pilkada 2005 ya, 2005 pilkada serentak pertama sama itu gejalanya. Jadi menggerakkan demokrasi pemerintahan dan sebagainya untuk memenangkan.
Maka perlu mungkin dipikirkan, sebenarnya terkait revisi UU pilkada itu, banyak hal yang harus diubah, harus diperbaiki. Artinya tapi kalau sekarang harus kita nyatakan gini, harus kita terima dong apapun hasil dari segala pilkada ini, hasilnya udah begitu. Jadi masa misalnya karena calon kita tidak terpilih, kita tolak pilkada ya kan.
Artinya misalnya dua calon, sekian persen, 30%, 40%, 60%. 40% itu banyak loh, tapi maksudnya apakah kita mendasarkan pikiran kita terhadap 40% itu, ada juga 60%. Oleh karena itu kan mekanisme demokrasi yang artinya yang suara terbanyak menang, kecuali DKI harus thresholdnya 50% plus 1, itu harus kita hormati bersama, nah itu kesatuan kita.
Jadi pemilih sudah melakukan, menunaikan haknya untuk memilih, hasil pilkada ini harus dihormati, termasuk ya, kalau ada pengajuan perselisihan hasil pemilihan di mahkamah konstitusi juga, kita harus hormati segala proses hukum itu, biasa aja ya kan. Jadi hasil ini harus diterima, ya total ada kecurangan-kecurangan itu harus dibuktikan, untuk menjaga demokrasi kan, jangan juga kita berdasarkan reaksi-reaksi emosional semata ya kan. Itu nanti justru bisa memperkeruh ruang publik kita.
Jadi sebenarnya masyarakat itu harus kita berikan pemahaman dalam konteks pendidikan politik, pendidikan pemilih bahwa pasca pilkada ini semua harus bergandengan tangan, harus bersatu lagi, harus menerima segala hasilnya.
Karena yang menjadi kepala daerah itu, gubernur, wakil, bupati, walikota, itu kan jadinya gubernur, walikota kita. Oleh karena itu sebenarnya kampanye itu menguji bener gak ini ada baiknya, ada jeleknya, nah memutuskannya di hari H kan, nah sekarang pemilihnya sudah memutuskan di hari H masa kita komplain? Artinya kita harus hormati, kecuali, kecuali yang saya bilang tadi, ada pelanggaran-pelanggaran substansial dan itu harus dibuktikan.
Makanya sebenarnya struktur penegakan hukum pemilu kita kan ada pelaksanaan teknisnya di KPU penegakan hukumnya bawaslu. Contoh, orang bilang ada kecurangan di sebelah, di sana, apa kekurangannya? memilih mencoblos lebih dari 2 kali atau 3 kali ya, itu kan adat hukum pidananya, kemudian ada normanya PSU, pemungutan suara ulang di TPS tersebut.
Tapi jangan karena 1-2 kasus itu seolah-olah mendelegitimasi atau membatalkan hasil pilkada, semacam pemilu kemarin ya kan. Jadi kami JPPR mengimbau untuk seluruh masyarakat pasca pilkada ini yang sudah menunaikan haknya secara langsung umum bebas dan rahasia kita harus terima apapun hasilnya. Sambil menegakkan hukumnya terus jalan dan mereka menunggu rekap selesai, artinya begini pesan kedua adalah, ini kan belum selesai penghitungan yang resmi itu adalah penghitungan di KPU rekapitulasi berjenjang itu ya kan rekapitulasi yang sah di KPU daerah, kota maupun provinsi itu adalah hasil resmi apapun itu kita harus hormati.
Artinya apapun hasilnya, pemilih harus menganggap selesai pilkada ini, kita sudah menunaikan hak kita untuk memilih, kalau ada persoalan Bawaslu nya yang diminta diproses ya kan, menegakkan keadaan pemilu. Begitu sehingga yang perlu kita jaga adalah pilkada itu. Sekarang sudah waktunya kita bekerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perekonomian dan sebagainya kalau kita masih tidak move on terus bahaya ya kan jadi demokrasi seperti itu.
6. Dukungan Prabowo secara terang-terangan ke paslon akan memberikan instruksi implisit kepada perangkat negara untuk ikut bergerak. Komitmen netralitas dan independensi ASN, TNI, Polri akhirnya menjadi diragukan?
Saya cuma bilang ya berpotensi pejabat negara lainnya melanggar, ya itu cukup lah kalau saya lagi statement ini kan orang saya kan bukan politisi. JPPR kan pendidikan pemilih kan. Nanti kalau kamu tanya yang begitu-begitu tanya ke politikus, nanti dianggap kita statementnya politis ya. Kalau statement yang saya sampaikan tadi saya udah ukur jadi itu dalam konteks pendidikan pemilih, voters education, analisa-analisa oke tapi kalau yang kasus itu kan nanti saya dibilang politis, tendensius.
Artinya kita kencang sekali enggak ada satupun lembaga yang sekencang JPPR kemarin mengkritik. Sampai pun selesai di Bawaslu, Bawaslunya kita kritik enggan proses ya. Kalau sekarang kan kita komentar kita harus menjaga bahwa masyarakat itu jangan terpecah pasca memilih kan, nah kalau itu di luar itu nanti tanya lah ke politikus. Jadi dibatasi hanya sebatas voter education aja. Begitu ya.
Reporter Magang : Maria Hermina Kristin