Mendagri Tito Kembali Lempar Usulan Sistem Pilkada Asimetris
Dia menegaskan untuk jangan alergi terhadap sistem Pilkada Asimetris, karena sebenarnya sejumlah di Indonesia sudah menerapkan itu dengan adanya daerah yang tidak menjalankan Pilkada Langsung.
Kembali Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengusulkan, untuk adanya evaluasi sistem Pilkada Langsung yang masih menimbulkan masalah, dengan jalan keluarnya pelaksanaan sistem Pilkada Asimetris.
Diketahui bahwa, pada 2019 kemarin Tito sudah sempat melemparkan wacana tersebut kepada DPR RI sebagai solusi. Usulan Pilkada Asimetris juga kembali disampaikan Tito saat diskusi virtual bertema 'Mengapa Kita Butuh Kepala Daerah' yang diadakan Negara Institut, Sabtu (20/6).
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015. Pesta demokrasi ini melibatkan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
-
Mengapa Pilkada penting? Pilkada memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mengekspresikan aspirasi mereka melalui pemilihan langsung, sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kehendak dan kebutuhan masyarakat setempat.
-
Apa definisi dari Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Kapan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir? Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir pada 7 Januari 1905, di Cepu, Jawa Tengah.
-
Siapa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo? Kartosoewirjo merupakan tokoh populer di balik pemberontakan DI/TII pada tahun 1948.
-
Apa saja yang dipilih rakyat Indonesia pada Pilkada 2020? Pada Pilkada ini, rakyat Indonesia memilih:Gubernur di 9 provinsiBupati di 224 kabupatenWali kota di 37 kota
Dia menegaskan untuk jangan alergi terhadap sistem Pilkada Asimetris, karena sebenarnya sejumlah di Indonesia sudah menerapkan itu dengan adanya daerah yang tidak menjalankan Pilkada Langsung.
"Contoh Yogya karena keistimewaannya maka Sri Sultan jadi Gubernur tanpa dipilih langsung rakyat. Kita lihat juga di DKI, wali kota, (bupati) Kepulauan Seribu dipilih Gubernur jadi dia tak ada beban untuk balikkan modal. Jadi asimetris itu sudah terjadi," kata dia.
Wacana Pilkada Asimetris, lanjut dia, perlu diusulkan sebagai upaya meminimalisir dampak negatif dari pelaksanaan Pilkada Langsung.
"Ada yang langsung dan tidak, untuk Pilkada Asimetris untuk kurangi dampak negatif kita harus lihat kedewasaan demokrasi, daerah betul-betul siap pilih pemimpin paham enggak mereka harus pilih pemimpin yang tepat," terangnya.
Ketentuan daerah bisa langsung atau tidak, kata Tito, dapat didasarkan pada angka indeks pembangunan manusia (IPM), pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara. Jika IPM tinggi daerah itu bisa melaksanakan Pilkada Langsung dan berlaku sebaliknya.
"Sehingga ada kategori IPM tinggi artinya pendidikan baik, kesehatan baik mereka dewasa berdemokrasi. Mereka mengerti memilih pemimpin penting. Kedua IPM sedang dan ketiga IPM rendah yang rendah kurang terdidik kurang sehat sehingga mudah dimanipulasi," katanya.
Selanjutnya, Tito menjelaskan Pilkada secara langsung dan tidak juga ditentukan dari kemampuan fiskal setiap daerah dan kondisi sosial ekonomi yang ada. Apabila rendah, sebaiknya kepala daerah tak dipilih secara langsung.
"Lihat kemampuan fiskal di hitungan dari dana transfer pusat dan PAD. Kalau pendapatan asli daerah tinggi jauh dari transfer pusat kita anggap kemampuan fiskal tinggi. Dan sedang, PAD dan transfer pusat mirip dan ada lagi daerah kemampuan fiskal rendah," tutur dia.
"Terakhir, faktor sosial ekonomi apakah Pilkada di daerah itu akan pecah keharmonisan di daerah itu. Katakan beberapa daerah di Papua di daerah pegunungan di mana sistem kekerabatan sangat tinggi yang dipilih kerabat dari pada kualitas," tukasnya.
Ganjar Menolak
Pada saat diskusi, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo merespon tidak setuju jika usulan Pilkada Asimetris dilakukan, merespon dari usulan Tito.
"Kita mau enggak asimetri? Jawabannya sudah jelas tidak mau. Maaf Pak Tito, karena mesti ada satu sistem yang sama kecuali yang memang sengaja di exclude undang-undang seperti daerah istimewa yang empat itu," ujar Ganjar.
"Kecuali yang memang sengaja di-exclude undang-undang, yang di-exclude oleh UU yang apa? Yang istimewa-istimewa. Dengan ketentuan khusus, ya kawan-kawan kita di Aceh, DKI, Papua saya kira dapat itu. Yang lainnya sama," sambungnya.
Gubernur Jateng itu menyarankan dari pada penerapan Pilkada Asimetris, Lebih baik melatih sistem demokrasi kepada masyarakat, partai politik, maupun penyelenggara.
PPP Buka Diri Untuk Diskusi
Sementara itu, Sekretaris Jendral (Sekjend) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menilai jika Pilkada di Indonesia memang membutuhkan sistem perbaikan dan tidak ada salahnya melakukan pembahasan, diskusi terhadap sistem Pilkada Asimetris.
"Kalau kita sebelumnya fokus mau sistem perbaikan model Pilkada Langsung atau Tidak. Maka itu lebih baik kita kaji tentang Pilkada Asimetris, ini perlu kajian lebih," ujarnya.
Kendari demikian, Politikus partai berlambang Ka'Bah itu menilai memang masih membutuhkan studi empirik terhadap pelaksanaan Pilkada Asimetris, karena hanya Lipi yang telah mengeluarkan hasil risetnya.
"Kalau kita bicara PPP akan terbuka bila ada diskusi Pilkada Asimetris dengan syarat-syarat yang clear. Dan supaya ini disambut baik tidak dibatalkan ke MK langsung, karena timbulkan perbedaan-perbedaan," jelas Arsul.
(mdk/ded)