Politik Identitas Menurun di 2024, Bukti Politik di Tanah Air Semakin Dewasa
Jika sebelumnya begitu kencang hembusan politik identitas, sekarang isunya bergeser menjadi oligarki dan dinasti politik.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 telah berjalan dengan lancar, tertibdan damai. Meski dinamika sebelum coblosan tetap riuh dengan kampanye masing-masing pasangan calon (paslon), namun penggunaan politik identitas relatif menurun.
"Penggunaan sentimen agama tidak terlalu kuat pada Pilkada kali ini, berbeda dengan perhelatan Pilkada sebelumnya. Misalnya, Pilkada DKI 2017 yang sangat kuat sekali mengambil isu-isu keagamaan dan ketika Pilpres 2019," ujar Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Deden Mauli Darajat, Selasa (3/12).
- Terungkap Alasan Pramono-Rano Karno Tunjuk Cak Lontong Ketua Timses, Ingin Hilangkan Politik Identitas
- Terungkap Identitas 6 Tahanan yang Kabur dari Rutan Polsek Tanah Abang
- Masih Dikejar Polisi, Ini Identitas 14 Napi Kabur dari Polsek Tanah Abang
- 'Strategi Politik Menggunakan Isu Identitas Harus Kita Tolak!'
Pakar Ilmu Komunikasi ini juga menyoroti adanya pergeseran substansi narasi yang digunakan pihak yang berseberangan dengan Pemerintah. Jika pada beberapa Pemilu sebelumnya begitu kencang hembusan politik identitas, sekarang isunya bergeser menjadi oligarki dan dinasti politik.
Ia menilai, menurunnya penggunaan narasi identitas politik dalam penyelenggaraan Pilkada adalah sebuah pencapaian tersendiri bagi Indonesia. Mengingat cara yang sama masih laku keras di belahan dunia lainnya, bahkan di negara maju sekalipun.
"Saat ini, demokrasi kita juga sudah lebih inklusif, namun dengan adanya media sosial dan digitalisasi informasi, setiap orang bisa bersuara melalui akunnya masing-masing. Ini yang perlu ditata ulang," ungkap Deden.
Penataan yang dimaksud, jelasnya, bukanlah untuk menghilangkan hak dan kebebasan berpendapat, melainkan untuk mengatur adanya kewajiban yang harus dipatuhi dalam berpendapat di ruang publik.
Selain itu, menurut Deden, kejelasan regulasi diperlukan untuk mengurangi potensi tersebarnya hate speech, hoks, dan kampanye hitam. Semua itu harus diturunkan karena berpotensi memecah persatuan bangsa demi kepentingan segelintir orang.
"Di sinilah letak urgensi peraturan yang mengatur kebebasan berpendapat. Dalam upaya ini, Pemerintah perlu didukung berbagai pihak, khususnya publik figur atau bahkan influencer yang mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat," tuturnya.
Ia menambahkan bahwa Pilkada harus dirayakan dengan sukacita, bukan hanya saat kampanye, namun juga ketika mengetahui hasil resmi dari KPUD masing-masing wilayah.
Deden berharap agar masyarakat mematuhi aturan berlaku agar demokrasi di Indonesia bisa berjalan dengan baik. Hal ini diperkuat bukan hanya oleh Pemerintah dan segala perundang-undangannya, tetapi juga oleh kekuatan civil society.
"Semua ini membutuhkan keikutsertaan dari seluruh kelompok atau organisasi masyarakat yang fokus terhadap demokrasi dan penguatan literasi politik. Pesta demokrasi menjadi perayaan bukan hanya milik elite tetapi milik seluruh warga negara," paparnya.
Terkait banyaknya komentar bahwa tingkat partisipasi masyarakat yang relatif rendah, Deden menegaskan bahwa itu tidak serta merta menjadi alat delegitimasi terhadap hasil Pilkada.
"Jika tingkat partisipasi masyarakatnya rendah, itu bukan berarti legitimasinya turun. Rendahnya tingkat partisipasi ini justru harus menjadi evaluasi untuk mewujudkan proses demokrasi yang lebih baik," pungkasnya.