Pro kontra syarat calon perseorangan di UU Pilkada yang baru
Syarat dukungan bisa gagal jika petugas tidak bisa memverifikasi pemilik KTP.
Revisi UU Pilkada telah disahkan oleh DPR. Salah satu yang kini menjadi sorotan adalah pasal 48 yang mengatur jenis verifikasi terhadap dukungan untuk calon perseorangan. Aturan tambahan ini dinilai telah memperberat syarat dan membuat dukungan terhadap calon perseorangan rentan gugur.
Dalam pasal 48 diatur dua jenis verifikasi. Pertama adalah verifikasi administrasi yang dilakukan KPU tingkat provinsi/kabupaten/kota dibantu oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) dengan waktu 14 hari.
Kedua, adalah verifikasi faktual selama 3 hari dengan metode sensus dengan menemui langsung setiap pendukung calon yang menyerahkan KTP-nya. Jika pendukung calon tak bisa ditemui, maka pasangan calon diberi kesempatan untuk menghadirkan mereka di Kantor PPS. Namun, jika pasangan calon tak bisa menghadirkan pendukung mereka ke Kantor PPS, maka dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman menegaskan aturan yang lebih ketat tersebut untuk mendukung hak kedaulatan seseorang. "Biar lebih legitimate dan demokrasinya lebih pas. Jadi kedaulatan yang digunakan benar-benar untuk kedaulatan bukan untuk uang," kata Rambe di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/6).
Politikus Golkar itu menjelaskan, calon independen harus mengantongi 6,5 hingga 10 persen dukungan KTP berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di tiap daerah. Verifikasi dukungan akan memakai metode seperti sensus penduduk. Usulan tersebut merupakan usulan DPR dan pemerintah. "Pemerintah yakin itu bisa dalam bentuk sensus," pungkasnya.
Hal senada diungkapkan anggota Komisi II DPR Yandri Susanto. Aturan tersebut untuk mendeteksi agar setiap pemilih memutuskan pilihannya dengan sadar. "Jadi penyelenggara harus memverifikasi secara fisik. Benar atau enggak, memberi dukungan secara sadar atau halusinasi atau apa," kata Yandri saat dihubungi, Senin (6/6).
"Jangan sampai selama ini banyak kejadian KTP diambil di tempat kredit motor, kredit mobil. Kalau ada kebohongan KTP, KPU harus membuka itu ke publik bahwa dukungan tidak benar," tuturnya.
Sementara itu dari kubu yang kontra, aturan ini dinilai memberatkan calon perseorangan. "Ketentuan ini jelas memperberat. Apalagi yang memberikan dukungan adalah usia produktif yang memiliki aktivitas studi atau bekerja. Waktu tiga hari sangat singkat," kata Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie, di Jakarta, Senin (6/6).
Grace mempertanyakan alasan pembatasan waktu selama tiga hari untuk mendatangkan pendukung ke Kantor PPS. Sedangkan dalam Peraturan KPU disebutkan waktu yang diberikan adalah 14 hari. PSI merupakan salah satu partai yang mendukung calon petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 melalui jalur independen.
Grace enggan menuding ketentuan UU Pilkada dirancang untuk menjegal Ahok. Dia hanya menyebut semangat Undang-Undang Pilkada tidak mendukung calon independen.
"Calon perseorangan kan tidak cuma pak Ahok. Jangan fokus di pak Ahok saja lah. Tapi semangat undang-undang ini ya memang tidak mendukung calon independen, kalau tidak mau dibilang menjegal," kata Grace.
Sedangkan bakal calon petahana Pilgub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengakui pendukungnya akan kerepotan dengan aturan ini. Meski begitu dia akan menaati aturan baru ini. "Ya kalau undang-undang sudah putuskan begitu ya kita harus patuh saja, tinggal patuh saja," kata Ahok di Balai kota, Jakarta, Senin (6/6).
Ahok mencontohkan, salah satu aturan yang memberatkan adalah pendukung calon independen harus lapor ke kantor Panitia Pemungutan Suara soal suara dukungannya. Hal ini dilakukan karena panitia datang ke rumah-rumah warga pada saat jam kerja.
Dan tentu saja, sebagian besar warga tengah bekerja sehingga verifikasi tidak bisa dilakukan. Pihak panitia, kata Ahok, akan memberikan tenggat waktu 3 hari untuk warga lapor ke PPS terdekat.
"Sekarang orang yang mendukung saya sedikit repot, repot kenapa? Waktu timnya datang hari kerja pasti kan enggak ada nih. Misal salah satu kamu dukung saya, jam segini petugas datang ke rumah kamu kamu pasti enggak ada, begitu enggak ada 3 hari batas waktu, kamu mesti datang ke PPS terdekat," jelasnya.
Dia menyayangkan, perubahan pasal soal verifikasi dukungan itu. Pasalnya, formulir dukungan yang disetorkan teman Ahok ke KPUD DKI adalah yang sudah ada pernyataan dukungan dan tanda tangan.
"Padahal ini semua terdaftar secara e-ktp, ada tanda tangan, ada pernyataan kalau kamu bohong kau bisa pidana ini," pungkasnya.
Baca juga:
Perketat syarat independen, DPR tak ingin dukungan KTP direkayasa
Perketat syarat independen, DPR tak ingin kedaulatan bisa dibeli
Golkar takut calon independen gunakan KTP warga ajukan kredit motor
Istana berharap umur UU Pilkada panjang setelah disahkan
Diwarnai ketegangan, revisi UU Pilkada disahkan
Jawaban pedas Ahok soal incumbent diminta mundur jika ikut pilkada
-
Kapan Pilkada DKI 2017 dilaksanakan? Pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta 2017 (disingkat Pilgub DKI 2017) dilaksanakan pada dua tahap, yaitu tahap pertama di tanggal 15 Februari 2017 dan tahap kedua tanggal 19 April 2017 dengan tujuan untuk menentukan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017–2022.
-
Apa saja isu yang muncul selama Pilkada DKI 2017? Apalagi pemilihan tersebut juga diwarnai dengan isu-isu seperti agama, etnis, dan kebijakan publik.
-
Apa isi utama UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada? Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, yang awalnya menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi undang-undang tetap.
-
Kapan Pilkada DKI 2017 putaran kedua dilaksanakan? Pemungutan Suara Putaran Kedua (19 April 2017):Putaran kedua mempertemukan pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga.
-
Kapan UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mulai diterapkan? Implementasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah membawa beberapa perubahan signifikan dalam proses pemilihan kepala daerah di Indonesia.
-
Apa saja jenis pelanggaran yang dibahas dalam UU Pemilu 2017? Jenis-jenis pelanggaran pemilu, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), mencakup tiga kategori utama, yaitu pelanggaran kode etik pemilu, pelanggaran administratif pemilu, dan pelanggaran tindak pidana pemilu.