Obesitas dan Gaya Hidup Kurang Gerak Bikin Berisiko Saraf Terjepit, Ini Penyebabnya
Kurangnya aktivitas fisik meningkatkan risiko seseorang mengalami hernia nukleus pulposus (HNP), yang lebih dikenal sebagai saraf kejepit.
Seseorang yang mengalami obesitas dan juga merupakan perokok memiliki kemungkinan tinggi untuk menderita hernia nukleus pulposus (HNP) atau saraf kejepit pada tulang belakang. Kondisi ini dapat menyebabkan rasa sakit yang menjalar hingga ke pinggang, paha, dan kaki. Saraf kejepit terjadi ketika saraf tertekan oleh jaringan di sekitarnya, seperti tendon, ligamen, otot, tulang, atau jaringan lunak abnormal seperti tumor. Terdapat berbagai jenis saraf kejepit, tergantung pada lokasi terjadinya. Sebagai contoh, pada HNP, bantalan atau cakram yang terletak di antara tulang belakang dapat keluar dari tempatnya atau robek, sehingga menjepit saraf di sekitarnya. Meskipun banyak orang lebih mengenal istilah HNP sebagai saraf kejepit, gejala yang ditimbulkan sangat mengganggu. Ketika seseorang mengalami saraf kejepit, mereka biasanya merasakan linu, kebas, dan nyeri yang menjalar dari pinggang ke bokong, hingga ke kaki, bahkan sampai telapak kaki.
Dokter spesialis ortopedi konsultan tulang belakang, Jephtah Tobing, yang berpraktik di Siloam Hospital Lippo Village, menjelaskan bahwa ada beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan seseorang mengalami HNP. "Ada beberapa faktor risiko, yang pertama kegemukan atau obesitas. Jadi mulai sekarang harus mencari tahu sendiri berapa berat badan ideal, sesuai dengan tinggi badan dan usia," ungkap Jephtah. Dengan mengetahui berat badan ideal, diharapkan seseorang dapat mencegah terjadinya masalah kesehatan yang lebih serius di masa depan. Oleh karena itu, penting untuk menjaga pola hidup sehat dan memperhatikan faktor risiko yang mungkin ada.
-
Apa saja perubahan gaya hidup sederhana untuk menurunkan berat badan? Perubahan gaya hidup sederhana ini tidak hanya berkaitan dengan apa yang Anda makan, tetapi juga bagaimana Anda makan, bergerak, dan tidur.
-
Bagaimana cara mencegah obesitas akibat makanan? Cara mengatasinya adalah dengan mengatur pola makan yang seimbang, mengurangi porsi makan, dan memilih makanan yang kaya serat, protein, dan vitamin.
-
Apa saja makanan tinggi serat yang membantu menurunkan berat badan? Memilih makanan yang bergizi, bervariasi, dan seimbang sesuai dengan kebutuhan tubuh, ditambah dengan aktivitas fisik yang cukup, dapat membantu menjaga berat badan ideal kita. Ternyata, makanan tinggi serat tidak hanya baik untuk pencernaan dan pencegahan penyakit kronis, tetapi juga merupakan teman baik dalam usaha menurunkan berat badan.
-
Siapa yang berisiko tinggi mengalami obesitas? Anak-anak yang memiliki orang tua atau saudara kandung yang obesitas memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menjadi obesitas juga. Ini bukan berarti obesitas adalah takdir yang tidak dapat dihindari, tetapi genetika dapat mempengaruhi bagaimana tubuh anak menyimpan lemak dan bagaimana nafsu makan mereka diatur.
-
Siapa saja yang berisiko tinggi mengalami obesitas? Bayi dengan riwayat keluarga obesitas memiliki risiko lebih tinggi karena faktor genetik yang memengaruhi metabolisme dan hormon.
-
Bagaimana cara mengurangi asupan kalori dalam diet sehat? "Kurangi 500 kalori selama misalnya target turun berat badan 4 kg, jadi targetnya dalam satu minggu harus turun sekitar 1 kg, itu harus rutin melakukan olahraga rutin 3-5 kali per minggu dengan durasi 150 menit per minggu artinya setiap kali olahraga itu bisa 40-45 menit minimal," jelas Firlianita.
Perokok dan Kurang Gerak
Faktor risiko kedua adalah perokok. Jika seorang perokok mengalami herniasi nukleus pulposus (HNP) dan menjalani operasi, proses pemulihan pasca-operasi akan memakan waktu lebih lama dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok. "Pasien-pasien perokok kalau dioperasi, hasilnya akan selalu lebih jelek. Karena pembuluh darahnya sudah terganggu, padahal pembuluh darah itu yang mengantarkan nutrisi ke daerah cidera, jadi kalau jalan tolnya saja sudah terganggu, nutrisinya enggak nyampe," ungkap Jephtah.
Faktor risiko ketiga adalah jarang berolahraga. Jephtah menjelaskan bahwa berolahraga secara teratur bukan sekadar pilihan, melainkan suatu keharusan untuk melatih otot. Mengapa hal ini penting? Karena otot berfungsi sebagai penopang tulang manusia, sehingga perlu dibangun massa ototnya. "Padahal yang menjaga tulang belakang itu ada peran otot perut, sekarang yang jadi permasalahan adalah masyarakat kurang melatih otot perutnya," tuturnya.
Tak Semua Nyeri Tulang Belakang Disebabkan HNP
Jephtah menyatakan bahwa nyeri pada tulang belakang tidak selalu disebabkan oleh HNP atau penyakit kronis lainnya. Menurutnya, sekitar 97 persen kasus nyeri punggung disebabkan oleh masalah otot. Nyeri yang dirasakan pada punggung bisa menjadi tanda bahwa tubuh mengalami masalah, seperti akibat terlalu lama duduk, kurangnya aktivitas fisik, atau melakukan kegiatan yang tidak biasa.
Contohnya, mengangkat beban berat dengan posisi yang salah atau memutar tubuh secara tiba-tiba dapat memicu terjadinya HNP. Jika Anda merasakan gejala yang mengganggu pada tulang punggung, disarankan untuk segera berkonsultasi dengan dokter ortopedi untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Penanganan yang cepat dan tepat dapat mencegah pengobatan HNP berakhir di meja operasi.
“Bisa dengan obat dan fisioterapi. Rutin dan dilakukan juga di rumah, hindari larangannya, maka hitungan bulan bisa sembuh,” ujarnya. Dengan mengikuti anjuran dokter dan menjaga pola hidup sehat, pemulihan dari nyeri punggung dapat dicapai tanpa harus menjalani prosedur bedah yang invasif.
Perkenalkan metode Penanganan Biportal Endoscopic Spine Surgery (BESS)
Dalam kesempatan yang sama, Siloam Hospitals Lippo Village memperkenalkan perawatan tulang belakang melalui metode Biportal Endoscopic Spine Surgery (BESS). Ini adalah teknik operasi minimal invasif yang modern, dirancang untuk mengatasi berbagai masalah tulang belakang. Menurut Jephtah, prosedur ini memberikan solusi inovatif bagi pasien dengan waktu pemulihan yang lebih cepat dan ketidaknyamanan yang lebih rendah. BESS dianggap telah mengubah paradigma dalam prosedur bedah tulang belakang, dengan pendekatan minimal invasif untuk menangani kondisi seperti hernia nukleus pulposus, stenosis yang merupakan penyempitan saluran saraf di tulang belakang, serta gangguan penuaan tulang belakang lainnya.
"Berbeda dengan operasi tulang belakang tradisional yang memerlukan sayatan besar, BESS hanya memerlukan dua sayatan kecil seukuran lubang kunci. Hal ini memungkinkan dokter bedah untuk menggunakan alat endoskopi khusus guna menargetkan dan mengobati area yang bermasalah dengan lebih presisi," jelasnya. Dengan demikian, pasien akan merasakan rasa sakit yang lebih sedikit setelah operasi, waktu pemulihan yang lebih singkat, serta masa rawat inap yang lebih pendek. Selain itu, sifat minimal invasif dari prosedur ini juga berkontribusi pada pengurangan risiko yang biasanya terkait dengan operasi tulang belakang konvensional.